Jumat, 25 Juli 2008

Pendidikan Politik Kaum Tertindas

Potensi besarnya angka Golput Jawa Tengah dalam konteks perilaku pemilih (voting behavior) tidak bisa disalahkan. Refleksi sangat dibutuhkan tentang persoalan taraf pendidikan politik mereka. Karena dengan pendidikan politiklah, kontruksi sadar dan cerdas memilih terwujud.


Konsepsi pendidikan kaum tertindas pernah mengemparkan Amerika saat dikumandangkan oleh Paulo Freire pada abad ke -19 mangandung sejumlah orientasi filosofis pendidikan ke suatu yang lebih memanusiakan, demokratis, pragmatis, dialogis, dan membebaskan. Konsepsi ini bisa di pakai untuk memotret dan memberikan solusi bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan politik khalayak pemilih.

Pendidikan politik sebagaimana yang dapat kita lihat dalam sosialisasi dan kampanye pilgub tidak secara holistik memperhatikan eksistensi kaum tertindas. Kaum tertindas yang memiliki keterbelakangan hanya bisa berpasrah diri dengan keadaan dimana keterbatasan kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan sosialisasi yang di lakukan oleh penyelenggara tidak menyentuh dan mendukung terbentuknya kecerdasan dan kesadaran politik mereka.

Sosialisasi dan kampanye hanya berniat untuk mengiring mereka mencoblos, bukan mencerdaskan dan membebaskan. Tak banyak diharapkan dari sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Dengan bermodalkan cara konvensional menawarkan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Agenda sosialisasi menjadi sebuah tahapan yang terkesan rutinitas semata. Apalagi pola komunikasi yang disediakan bagi kaum tertindas hanya dalam format penyuluhan dan menyalurkan informasi lewat media. Metode ini menutup dialog, memberanguskan kesadaran, layaknya sistem pendidikan politik otoriter –meminjam ungkapan Freire– seperti banking education tanpa kurikulum dan target yang jelas.

Sedangkan kampanye hanya akan membangun skeptisisme terhadap bangunan pendidikan politik yang ada. Pada kenyataannya, kampanye terbuka –sebagai alternatif bentuk kampanye yang banyak dipilih kandidat–mengutamakan penggiringan massa hanya berefek memangkas ruang dialog. Padahal dialog sendiri, bagi Freire merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Dengan dialog kritis, secara otomatis mendorong tranformasi sosial dan pembebasan serta mencerdaskan secara politis khalayak pemilih.

Bentuk sosialisasi dan kampanye yang popular saat ini mengharuskan prakondisi yang mana diperlukannya karakteristik pemilih rasional. Untuk menuju pemilih rasional paling tidak diperlukan energi yang cukup besar, baik taraf pendidikan formal maupun tingkat kesejahteraan yang mencukupi. Kaum tertindas jauh dari faktor tersebut, maka perlu pendidikan politik yang meletakkan dasar humanisasi kaum tertindas yang mensejajarkannya dalam bentuk kesadaran kritis.

Kaum tertindas bisa diartikan mereka pemilih yang termasuk golongan miskin. Sebanyak 21, 11 % penduduk Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS, 2007: hal 185). Daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Kabupaten Brebes, yakni 51, 60 % jumlah penduduk miskin sedangkan jumlah penduduk miskin terkecil di Kota Magelang dengan 17, 70 % penduduk miskin. Kaum inilah yang pertama kali perlu diketengahkan pembangunan kesadaran dan kecerdasan politiknya.

Dilema ketidak-sadaran dan ketidak-kecerdasan kaum tertindas memang persoalan fundamental. Maka cukup rasional, persoalan fundamental ini di sandingkan dengan fenomena golput di dalam setiap pemilihan. Golput, dimotori oleh, keterbatasan informasi, apatisme, dan apolitis. Kurangnya pendidikan politik pemilih serasa cukup signifikan melahirkan bertambahnya angka golput.

Prihatmoko (2008) pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004, angka golput (22,06 persen) dibawah partai pemenang pemilu/ PDI-P (23,09 persen). Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 persen) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 persen). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 persen) masih mengalahkan golput (28 persen). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 persen) dikalahkan golput (31,14 persen). Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 (42,31 persen) dari 26 pilkada kabupaten /kota. Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan dan Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian secara presentasi pilkada yang dimenangkan golput meningkat dari 41,18 daerah (2005), 42,86 persen(2006) menjadi 50 persen(2007). Dari sebelas pilkada itu, rata-rata golput sebesar 36,74 pesen jauh diatas suara bupati/walikota terpilih sebesar 26,10 pesen. Selisih perbandingan itu rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 persen dan bupati/walikota terpiliih 35,12 persen. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub.

Dengan potensi golput sebesar ini, maka perhatian serius perlu ditujukan untuk membangun kembali kesadaran dan kecerdasan politik warga, terutama kaum tertindas ini. Sekali lagi, dalam karya Freire, Pedagogy of The Oppresed, menekankan pentingnya pendidikan berkesadaran menuju ketiadaan penindasan, dalam konteks yang lebih operasional, bisa dilakukan oleh penyelenggara melalui sosialisasi. Sosialisasi diselenggarakan oleh penyelenggara harus memposisikan diri sebagai agen demitologisasi dalam menghadapi masalah dan menganggap dialog sebagai instrumen terpenting, memberikan motivasi pemilih menjadi pemikir kritis dan merangsang kreatifitas aksi dalam menghadapi persoalan politik.

Kalaupun perlu, sosialisasi, kedepan haruslah diatur sedemikian rupa menyerupai sarana pendidikan politik non formal yang mencerdaskan. Tidak hanya sekadar mengajak pemilih untuk mencoblos atau menggunakan hak pilihnya saja, akan tetapi mampu mengajak pemilih untuk berpikir, mampu membongkar profil, visi, misi, program, dan arah kebijakan kandidat, sehingga pada akhinya, pemilih tidak hanya pandai memilih dengan benar, tapi mampu mendampingi 5 (lima) tahun ke depan dengan kritisisme dari kontruksi kesadaran dan kecerdasan politik yang dimilikinya.


Awaludin Marwan, SH Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

MENAKAR TERORISME DI JAWA TENGAH

Terorisme tetap menjadi ancaman tiada akhir. Seteleh terungkapnya sindikat terorisme di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Pelaku utamanya Noordin M Top masih berkeliaran ditambah buronan Slamet Kastari. Dugaan kuat dua tokoh ini membangun dan menjalin hubungan dengan sel-selnya yang ada di seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Tengah.


Tujuan teror tidak lain adalah ketakutan. Sindikat teroris nampaknya sukses menebar kegelisahan dan rasa takut yang berlebihan (fear-morgers) yang dirasakan masyarakat luas dengan aktor-aktor utamanya yang masih berkeliaran. Selama Noordin M Top dan Slamet Kastari masih buron, kita masih belum bisa bernafas dengan lega.

Mengungkap sindikat terorisme sama halnya kita akan disuguhkan pola sebuah organisasi yang bagaikan mata rantai tiada terputus. Organisasi semacam klandestin Al Jamaah Al Islamiyah menjadi salah satu kedok strukturalis sindikat ini melancarkan aktivitasnya. Aktivitas mulai dari perekrutan, pelatihan, pendoktrinan, dan perencanan aksi disusun sistematis dan terorganisir.

Tak terdapat pemimpin tunggal dalam sindikat ini. Mereka hanya di bayang-bayangi oleh rasa kagum dan simpati pada tokohnya dan cenderung bersifat diaspora (menyebar seperti sel-sel). Karena bentuknya yang tidak mengerombol dan antarakelompok satu dengan yang lain berpencar, membangun basis kekuatan masing-masing, maka perburuan teroris menemukan perjalanan panjang.

Di Jawa Tengah yang beberapa kali dikagetkan dengan terkuaknya sindikat terorisme dan persinggahan tokoh-tokoh terorisme. Bahkan kali ini Slamet bin Kastasi beserta adikanya diduga berkeliaran di Jawa Tengah (Kompas/ 7/ 7). Pengungkapan kasus terorisme memerlukan kerja super ekstra.

Sindikat yang satu ditangkap dan dibekukan. Sindikat yang lain tetap menjalankan kaderisasi dan mengembangkan jaringannya. Perburuan teroris mengalami kebuntuan. Hanya dengan menangkap tokoh teroris hidup-hidup, mengintrogasinya, untuk dapat menunjukkan basis sindikatnya, kemudian melakukan pembersihan dengan cara persuasif maupun represif dapat mengupas tuntas terorisme. Namun hal ini bukanlah perkerjaan yang mudah.

Sindikat terorisme tak hanya terdapat di Indonesia saja.Terorisme merupakan kejahatan internasional yang terorganisir (Transnational organized crime), oleh karena itu dalam penanggulangannya membutuhkan kerja sama internasional. Menurut konvensi Palermo, 2000, suatu kejahatan dapat di kategorikan sebagai Transnational Organized Crime, apabila memiliki karakteristik : dilakukan lebih disatu Negara; dilakukan di satu negara, tetepi persiapan, perencanaan dan pengendalianya mengambil di negara lain; dilakukan di satu negara, tetepi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki jatingan kegiatan di banyak Negara; atau dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya mengimbas sampai negara lain.

Terorisme Indonesia diduga kuat masih memiliki hubungan dengan sindikat internasional. Dengan demikian, pembersihan terorisme perlu dilakukan dengan upaya kerja sama internasional dengan berbagai Negara lain.


Perburuan Terorisme

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang juga berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againt humanity). Kesalahan terhadap pemberantasan terorisme bisa berakibat fatal. Nyawa dan ketenangan khalayak luas taruhannya. Maka diperlukan sistem yang bisa menjamin pemberantasan terorisme hingga sampai ke akar-akarnya.

Pada tahun 2005, Indonesia telah meresmikan kerjasama bilateral di bidang counter terrorism diantaranya adalah dengan Polandia melalui penandatanganan Agreement on Cooperation in Combating Transnational Crime and Other Types of Crime dan dengan Vietnam melalui MoU on Cooperation and Combating Crime.

Sementara itu, dalam konteks kerjasama multilateral, Indonesia terlibat dalam ASEAN – Republic of Korea Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, ASEAN – Pakistan Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, dan ASEAN – New Zealand Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, serta yang paling baru adalah dalam ASEAN Summits pada Januari 2007 juga telah diresmikan melalui penandatanganan kesepakatan ASEAN Convention on Counter Terrorism.

Peningkatan infrastruktur aturan hukum, pemerintah bersama dengan DPR telah berhasil meratifikasi dua konvensi internasional yaitu International Convention for Suppression of the Financing of Terrorism (1999) dan International Convention for the suppression of Terrorism Bombings (1997). Dengan banyaknya kerjasama dan sarana yang tersedia ini diharapkan Indonesia lebih mampu menanggulangi tindak kejahatan terorisme hingga selesai tuntas.

Sarana yang disediakan diatas, patutlah diikuti dengan peningkatan kemampuan dalam mendeteksi, mengungkap dan menangkap para pelaku serta mengungkap jaringan terorisme oleh aparat penegak hukum. Tidak sekedar teks dan subtansi produk hukum yang dihasilkan pemerintah saja. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas Desk Anti-Teror perlu dilakukan hingga tingkat desa.

Kesemuanya ini memudahkan pengungkapnan jaringan terorisme serta tertangkapnya tokoh-tokoh utama terorisme. Terdeteksi dan terungkapnya jaringan kejahatan transnasional dan jaringan terorisme. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam penanggulangan aksi terorisme. Dan meningkatnya daya cegah dan daya tangkal negara terhadap ancaman terorisme secara keseluruhan.


Awaludin Marwan, SH

Alumni Fakultas Hukum UNNES

Kamis, 24 Juli 2008

KRITIK INKONSTITUSIONALITAS PEMILU

Vonis gelar pengadilan Mahkamah Konstitusi tentang penegasan implementasi electoral threshold terkesan seperti dagelan politik saja. Vonis itu hanya menjadi pelajaran bagi pemangku produk perundang-undangan. Tidak berihtikad membenahi sistem regulasi hukum pemilu. Kewibawaan Mahkamah Konstitusi perlu ditinjau ulang.



Ketimpangan menampakkan batang hidungnya, dengan fatwa yang dikemukakan dalam jumpa pers Ketua Mahkamah Konstitusi yang didampingi Ketua Komisi Pemilihan Umum. Pasalnya, jumpa pers ini seperti ingin menyampaikan bahwa ada islah antara Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Pemilihan Umum. Di luar putusan peradilan, Ketua Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa putusan hanya berlaku untuk waktu mendatang, tidak berlaku saat ini.

Fatwa yang dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi terlihat ada semacam keganjilan. Pertama, fatwa tersebut mengakhiri dialektika tentang status legitimasi Pemilu saat ini. Sementara, berlakunya keputusan untuk masa mendatang, dapat dipastikan tidak akan bisa terlaksana. Karena setiap kali pemilu, regulasi hukumnya selalu direvisi dengan yang baru. Maka sia-sia saja keputusan ini diterbitkan.

Kedua, fatwa hukum yang disampaikan ke publik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi tidak tepat. Sebab, secara subtansial Contitutional Court tidak sampai berfungsi mengeluarkan fatwa hukum. Seperti halnya di Republik Cheko, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki “preventive norm control”dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa hukum (advisory opinions).

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi hanya memiliki kewenangan dapat menetapkan bahwa suatu kententuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan sebagian ataupun seluruh peraturan itu. Kewenangan selanjutnya diserahkan kepada pihak-pihak yang terkait. Singkatnya, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutuskan perkara saja, tidak lebih.


Vonis Perkara

Pasal 316 huruf d yang menjadi fokus dari permasalahan, dianggap sebagai kententuan diskriminatif, petanda kemunduran demokrasi dan tidak sesuai dengan prinsip Negara hukum (rechtstaat). Dari ketentuan Pasal 316 huruf d ini, partai peserta Pemilihan Umum 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, namun mempunyai kursi di DPR tidak mempunyai kewajiban mengikuti verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum, sementara partai lainnya tidak demikian. Kententuan ini memberikan keistimewaan kepada partai politik peserta Pemilu 2004 yang mempunyai kursi di DPR.

Secara keseluruhan perolehan suara pemilu legislative 2004 dapat di ilustrasikan sebagai berikut: PNI Marhaenisme 923.159 (0,81%); Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 (0,56%); Partai Bulan Bintang 2.970.487 (2,62%); Partai Merdeka 842.541 (0,74%); Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 (8,15%); Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 (1,16%); Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 (0,59%); Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 (1,08%); Partai Demokrat 8.455.225 (7,45%); Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia 1.424.240 (1,26%); Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 (0,75%); Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610 (0,79%); Partai Amanat Nasional 7.303.324 (6,44%); Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 (2,11%); Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 (10,57%); Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 (7,34%); Partai Bintang Reformasi 2.764.998 (2,44%); Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 (18,53%); Partai Damai Sejahtera 2.414.254 (2,13%); Partai Golongan Karya 24.480.757 (21,58%); Partai Patriot Pancasila 1.073.139 (0,95%); Partai Sarikat Indonesia 679.296 (0,60%); Partai Persatuan Daerah 657.916 (0,58%); Dan Partai Pelopor 878.932 (0,77%).

Berdasarkan data diatas, maka seharusnya hanya terdapat 7 Partai yang lolos dari electoral threshold. Namun karena biang keladi pasal 316 huruf d ini, membuat persoalan bertambah runyam dengan tambahan menjadi 17 partai yang lolos tanpa adanya verifikasi KPU atau Departemen Hukum dan HAM.

Secercah harapan baru berkehidupan hukum dan politik lahir dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008. Sayangnya, keputusan tersebut tidak berdaya dan mengalami kebuntuan. Persoalan ini bisa dipandang sebagai ketidak-seriusan Mahkamah Konstiusi menyidangkan perkara tersebut.

Sebenarnya perkara ini sudah terdaftar semenjak 30 April 2008 lalu. Namun baru 10 Juli 2008 diputuskan dari gelar sidang Mahkamah Konstitusi. Keputusan tersebut terbit setelah KPU menyelesaikan verifikasi Partai.

Hal ini berberda jauh dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 April 2004 terhadap permohonan pengujian Pasal 6 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang sangat cepat. Registrasi Perkara Konsitusi tanggal 19 April 2004, namun tanggal 22 April 2004 Majelis Hakim sudah menjatuhkan vonis.

Melihat dilema diatas, ada baiknya Mahkamah Konsitusi melakukan refleksifitas institusi. Sehingga efektivitas keputusan semakin meningkat dan kewibawaan lembaga kehakiman tersebut bisa terjaga.


Kemajuan Berdemokrasi

Satu sisi positif pelajaran yang dapat diambil dari Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah tumbuh kembangnya kesadaran berkonstitusi oleh komponen political society kita. Prinsip supreme of constitution dan rule of law nampaknya mulai memandu mereka dalam pencarian penyelesaian politik. Di tempuhnya lajur ini oleh peserta pemilu, memberi angin segar untuk menggapai cita-cita the living constitution di republik ini.

Komponen yang mewakili political society dalam perkara ini adalah : Partai Persatuan Daerah (PPD); Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB); Partai Bintang Reformasi (PBR); Partai Damai Sejahtera (PDS); Partai Bulan Bintang (PBB); Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI); Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK); Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); Partai Pelopor (PP); Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI); Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD); Partai Serikat Indonesia (PSI);dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konsitusi.

Semoga kehidupan berhukum kita yang terejawantahkan dengan pola penyelesaian politik lebih etis, mengedepankan perbincangan rasional, dan penegakan hukum (law enforcement). Tidak akan ada lagi pola penyelesaian politik dengan kekerasan. Bangunan demokrasi bisa menjadi lebih baik dan manusiawi.


Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

Catatan di Akhir PIMNAS

PIMNAS telah usai. Selayang pandang di akhir pelaksanaan PIMNAS menampakkan sejumlah catatan. Tentang intelektualitas karbitan, syahwat “proyek”-isme versus kreatifitas karya idealis mahasiswa, dan dominasi ilmu eksak.

Rasa-rasanya, PIMNAS memang hanya menciptakan intelektual muda karbitan. Kadar inteletualitas seseorang mahasiswa diukur dengan kemenangannya di arena perlombaan yang hanya berproses selama se-pekan. Padahal, intelektualitas selayaknya tidak di nilai oleh proses yang berlangsung instan, melainkan dibutuhkan waktu berproses yang lama. Lamanya seseorang inteletual merupakan syarat sah akan konsistensi pemikirannya terhadap kebenaran yang ditandai dengan karya-karyanya yang banyak di akui oleh khalayak umum.
Dengan demikian, kemenangan sejumah peserta PIMNAS bukanlah suatu kebanggaan. Sebab, upaya ilmiahnya hanya sampai di titik itu. Inteletualitas dari kemenangan itu diperoleh dengan proses yang instan. Dan tinggal bagaimana si-pemenang kemudian mampu mempertahankan karya intelektualnya itu di dalam arus ilmu pengetahuan selepas dari PIMNAS. Walaupun pada kenyataannya jarang sekali kita temukan kader PIMNAS yang masih survive di belantara perkembangan ilmu pengetahuan.
Kader PIMNAS juga nampaknya akan mengalami kesulitan pada tingkatan follow up, jika tidak dibarengi dengan inisiatif sendiri. Karya-karya peserta tak ubahnya bagaikan sederetan pameran tanpa makna yang kemudian di nilai oleh Negara. Negara sepertinya tidak menyediakan sarana pemanfaatan karya-karya ini sebagai bahan-bahan pengembangan sains kearah yang lebih serius. Umpamanya saja untuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right) yang tidak di usahakan untuk temuan-temuan yang dihasilkan oleh peserta PIMNAS.
Padahal perlindungan di ranah penemuan teknologi penting untuk dilindungi dengan hak paten (patent right). Sedangkan di bidang penelitian diperlukan hak cipta (copy right). Perlindungan ini tak hanya penting bagi pencipta yang tak ingin berhadapan dengan aksi pembajakkan atau penjiplakkan, tapi juga menjaga orisinalitas dan menjaga hak moral dari si pencipta atas suatu barang.
Baru saja di sudut atensi perlindungan hukum terhadap karya-karya peserta PIMNAS tidak banyak diperhatikan. Apalagi soal yang lain, misalnya mengembangkan karya sampai pada kemanfaatannya secara ekonomis maupun pemberdayaan berlanjut guna meningkatkan mutu dan kualitas karya.
Persoalan ini terkadang yang mendorong peserta PIMNAS menjatuhkan pilihannya kepada spekulan perusahaan yang lebih menjanjikan untuk mengembangkan karya-karyanya. Dari sinilah timbul kerawanan eksploitasi karya intelektualitas anak bangsa oleh sejumlah perusahaan multinasional. Beberapa karya yang kebetulan bernilai, ternyata sudah di tunggu-tunggu oleh pelaku bisnis komersil.

Kembali ke Fungsi
PIMNAS memang sudah saatnya dikembalikan ke fungsi asalnya. Sesungguhnya karya-karya yang dipertarungkan hanya memiliki dua tujuan. Yakni, mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencetak kader intelektual mahasiswa. Sedikit ketimpangan terlihat di banyak sudut tentang kejernihan tujuan ideal ini. Pertama, pengembangan ilmu pengetahuan tak bisa berjalan dengan maksimal. Karena eksistensi Progran Kreatifitas Mahasiswa Teknologi (PKMT) dan Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang menjadi ruh pengembangan ilmu pengetahuan dihegemoni oleh ilmu eksak.
Ilmu sosial tak banyak mendapatkan ruang perhatian. Sehingga pengembangan ilmu pengetahuan secara dini yang dimulai dari mahasiswa tidak berjalan secara balances. Bagaimana kita menerapkan teknologi dan penemuan yang berasal dari ilmu eksak ini ke dalam kehidupan sosialitas manusia jika kita tidak mempelajari ilmu sosial.
Program-program inovatif kebanyakkan yang lolos sampai ke penghujung perlombaan umumnya disibukkan dengan tematik tentang seputar teknik, biologi, fisika, kimia, dan sejenisnya. Jarang sekali, bahkan hampir tak pernah ada yang membahas tentang dampak sosial sebuah teknologi, studi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga (covenant international on economic, social, and culture right) atas suatu proyek teknologis.
Sosial dalam terminologi yang lebih luas dapat kita pakai konsepsi yang pernah di sampaikan oleh Talcot Parsons dalam The Structure of Social Actions maupun Toward a General Theory of Action. Bahwa masyarakat memiliki “sikap alamiah” yang mengandung kemampuan untuk mengolah objek tertentu, memberikan umpan balik senang atau tidak senang, siap atau tidak siap, dan yakin atau tidak yakin. Beranjak dari konsepsi ini, maka tak heran apabila “objek teknologis” dengan mudah di tolak oleh masyarakat. Rencana pembangunan yang berdimensi teknologis, PLTN, PLTU, dan sejenisnya di tolak oleh masyarakat karena tidak menghiraukan aspek sosial masyarakat.
Kedua, persoalan intelektualitas semu. PIMNAS tidak mensyaratkan inovasi dan karya murni mahasiswa. Sehingga dalam kenyataannya, banyak diantara mereka peserta PIMNAS yang sekadar memodifikasi bahkan menjiplak habis dari karya dosen pembimbing. Beruntunglah perguruan tinggi yang banyak mendapatkan hibah penelitian, karena hasilnya bisa dipakai juga oleh tim-tim mahasiswa yang berlomba di PIMNAS. Disini, ide asli mahasiswa dipertanyakan.


Awaludin Marwan
Pegiat Diskusi Komunitas Embun Pagi Semarang

Korupsi dan Kemacetan Negara

Strategi progresif untuk perangi korupsi nampaknya telah benyak mengalami kemajuan di seluruh Nusantara. Tak ketinggalan Jawa Tengah dua kasus yang telah diputuskan atas nama terdakwa Hendy Boedoro Bupati Kendal dan Bambang Guritno Bupati Semarang. Tak menutup kemungkinan koruptor kerah putih ini bertambah. Benarkah hal ini akan menciptakan kemacetan Negara ?.


Maraknya pejabat Negara yang terperangkap skandal korupsi di sisi lain bisa menyebabkan kemacetan Negara. Solusi otomatis, bagi institusi yang terjangkit koruptor,urusan pemerintahan bisa dilimpahkan ke wakil pemerintahan. Seperti halnya, perkara korupsi Hendy Boedoro Bupati Kendal yang diputuskan oleh Mahkamah Agung memvonis tujuh tahun dan Bambang Guritno Bupati Semarang oleh Pengadilan Negeri Semarang dihukum dua tahun (Kompas/ 21/07). Sementara ini, kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh mereka bisa terisi oleh wakilnya.

Namun dari hal inilah, ada persoalan terkait dengan kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Siapa yang paling layak menggantikan kepala daerah jika kepala daerah sementara ini berhalangan?. Ataupun bila pelaku koruptor sebagai pejabat di lingkungan struktural dan fungsional pemerintahan. Kekosongan jabatan akan menyisakan pelayanan publik yang terbengkalai dan harus menunggu lama proses penggantian atau penunjukkan pejabat sementara.

Sulit memang bila korupsi yang telah merasuk jauh ke dalam sistem, pada akhirnya akan membuat banyak orang yang terlibat, menjadikannya sebagai kejahatan ini sesuatu yang biasa. Seolah-olah kejahatan itu menciptakan hak. Dan, kalau satu dituntut, lalu semua harus ikut bertanggung jawab.

Praktek ini layim kita lihat, bahwa tertangkap tangannya satu pelaku korupsi, nantinya akan mengakibatkan penyeretan pelaku-pelaku yang diyakini sebagai sindikat yang terlibat dalam pengadaan tindak kejahatan tersebut. Karenanya, korupsi dianggap sebagai kebiasaan (habitus), maka di dalam benak pelaku korupsi hanya ada pretensi bahwa semua institusi korup, semua pejabat doyan suap, dan semua elemen bermain dalam menyuburkan kejahatan terorganisir ini.

Alih-alih pemberantasan korupsi tebang pilih mengingatkan kita bahwa upaya ini semacam skenario politik. Arah pemberantasan korupsi mudah ditebak, menimpa pejabat korup yang kurang memiliki kekuatan dan pengaruh. Pejabat-pejabat yang dominan terlihat kebal oleh hukum.

Seandainya pejabat yang terakhir ini ketahuan korupsi, besar kemungkinan lepas dari jerat hukum, atau untuk mengobati kemarahan publik, hanya di hukum ringan. Haryatmoko (2008) mengatakan hal ini “bisa”, karena aparat hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberikan alibi, melemahkan bukti hukum, mementahkan keterangan saksi yang memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.

Apatisme atas pemberantasan korupsi sebagaimana persoalan di atas ada baiknya di ikuti dengan perbaikan citra lembaga Negara di mata publik. Laju percepatan pemberantasan korupsi hendaknya tidak melupakan “pelayanan publik” yang diberikan Negara kepada masyarakat. Tapi demikian bukannya pemberantasan korupsi ditinggalkan. Hanya saja pemerantasan korupsi dibarengi dengan optimalisasi pelayanan publik yang tak boleh terlupakan. Sehingga kewibawaan dan citra Negara bisa kembali bersemai.

Dengan upaya progresif yang dilakukan secara cepat dan tegas oleh pemangku kebijakan, mengisikan pejabat-pejabat yang jujur untuk mengantisipasi kekosongan jabatan yang ditimbulkan oleh pejabat korup. Sehingga kemacetan penyelenggaraan pemerintahan tak akan mungkin terjadi, dan akhirnya pelayanan kepada masyarakat bisa berjalan sebagaimana mestinya.


Menjadi Komoditas

Korupsi telah menjadi satu kebiasaan. Kebiasaan akan membungkam rasa bersalah, sehingga pelaku korupsi cukup menikmati hasil dari kejahatannya dengan perasaan yang biasa dan wajar. Dalam banyak kasus, proses hukum untuk mengungkapkan pelaku korupsi justru berbalik menjadi sarana rehabilitasi dan pembersihan nama. Semua prosedur hukum yang dianggap adil memang sudah ditempuh, tapi hasilnya jauh dari rasa keadilan. Korupsi tetap saja tumbuh subur di seluruh bidang, mengakibatkan sikap dan perbuatan korup menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi adalah kebiasaan.

Anthony Giddens (1993), dalam bukunya New Rules of Sosiological Method mengkonstatasikan bahwa kebiasaan akan menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan individu-individu untuk bertindak. Dalam kerangka ini, bisa dilihat sebuah skema bahwa kebiasaan korupsi membentuk sebuah pola.

Pola korupsi antara lain, sebagai komoditas yang tidak hanya dimiliki oleh pejabat saja, namun juga oleh elemen-elemen masyarakat. Korupsi dipergunakan sebuah isu dan wacana yang dapat dibuat sebagai mata pencaharian. Isu dan wacana korupsi menjadi black campaign bagi pejabat yang saling beradu kekuatan untuk memperebutkan jabatan strategis tertentu.

Isu dan wacana korupsi juga bisa dipergunakan oknum lembaga non pemerintahan untuk memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang/ barang, atau bentuk lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Menyelami phenomologi ramainya lembaga non pemerintah baru-baru ini yang bergerak di bidang korupsi merupakan hal yang menarik tersendiri. Pada umumnya, kelompok penekan ini banyak bergerak di ranah pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan. Namun eksistensinya memiliki relasi dengan pelaku pengadaan barang dan jasa, serta hampir bisa dikatakan bahwa langkah-langkahnya bisa dipetakan menguntungkan kepentingan tertentu.

Stigmatisasi terhadap lembaga non pemerintahan yang bergerak di seputar isu korupsi ini memang muncul karena banyaknya afiliasi, kedekatan dan tujuan praktis. Sehingga menjadi penghambat bagi penyelenggaraan Negara khususnya pengadaan barang dan jasa yang profesional, fair, dan tranparan.

Sudah selayaknya reorientasi bagi kelompok penekan semacam ini perlu dilakukan. Walaupun sebenarnya masih banyak lembaga yang setia menjaga reputasi dan kredibilitasnya dan tak terjebak di lingkup manfaat praktis, meski jumlahnya sedikit.


Awaludin Marwan, SH

Alumni Fakultas Hukum UNNES

Minggu, 20 Juli 2008

MUDA MEMANG TAK DIPERCAYA

Alih-alih pemikiran dan wacana tentang pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi yang muda memimpin mengalami kebuntuan. Elit tua belum merelakan kemunculan orang muda. Hal ini nampak dalam regulasi yang tak mengijinkan kemunculan orang muda untuk dapat memiliki peran di kehidupan bernegara.


Bagi orang muda dengan karier dengan track record yang gemilang, dijamin dan dihargai di sistem politik Amerika. Demokrasi Amerika kembali menyajikan pemandangan yang menarik. Barack Obama menebarkan banyak inspirasi kita berkehidupan politik pascamodern. Di usianya yang masih muda belia, 43 tahun telah menjabat senator Illionis. Kini kursi kepresidenan sudah di hadapan mata setelah mengalahkan saingannya terberat Hillary Clinton.

Sosok Obama tidak hanya dapat dijadikan patokan, bahwa bukan saja keberhasilan person marketing dan tim suksesnya melakukan positioning –strategi menancamkan citra tertentu di benak pemilih. Namun juga sistem yang menyediakan sarana bagi kemunculan orang muda menjadi pemimpin.

Bagaimana dengan penghargaan terhadap orang muda di sistem politik Negara dunia ketiga, khususnya Indonesia yang memiliki heterogenitas dan kemajemukkan yang kental ini?.

Orang muda kurang memiliki ruang latihan kepemimpinan dalam struktur Negara. Mereka harus rela menanti sampai pemimpin yang tua telah kehilangan minat untuk berkuasa. Entah sampai kapan minat orang tua ini berakhir, kita semua tidak tahu pastinya. Harapan perubahan menemui kebuntuan.

Regulasi sebagai subtansi untuk melahirkan struktur dan kultur masyarakat, tidak memperkenankan orang muda menduduki jabatan-jabatan penting. Kita bisa melihat bahwa UU No 22 Tahun 2007 terutama pasal 11 huruf b yang mengatur syarat anggota KPU dan Pasal 86 huruf b yang menjelaskan persyaratan Bawaslu. Kententuan dalam dua pasal ini menyebutkan bahwa calon anggota KPU dan Bawaslu harus berusia minimal 30 tahun.

Batas usia petanda jelas upaya penjegalan orang muda untuk berkarier dan mengabdikan kemampuannya untuk Negara. Padahal figur-figur baru banyak kita dapatkan dan harapkan dari orang-orang muda. Orang muda simbol perubahan dan orang tua lambang dari kemapanan atau masa lalu yang suram.

Selain menghalangi orang muda berkarier, batasan usia, menghambat proses pertumbuhan demokrasi. Batasan usia membuat sirkulasi elite tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sirkulasi elite penting bagi demokrasi. Robert A. Dahl percaya bahwa sirkulasi elite sebagai salah satu hal terpenting bagi demokrasi dalam bukunya Democracy and Its Critics. Sirkulasi elit mengharuskan pergantian kepemimpinan di instusi-institusi yang di kuasai oleh Negara. Pandangan selama ini hanya menampakkan bahwa institusi-institusi Negara hanya dipimpin oleh orang-orang itu saja, sindrom “kamu lagi-kamu lagi”.

Diskriminasi pun terlihat dalam regulasi ini. Sebagai regulasi yang bisa difalsifikasikan dalam sumber hukum materiil. Regulasi tersebut tidak memenuhi tujuan hukum subtansial. Hukum harus menjamin keadilan, kata Kant, Stammler, Radbruch. Mereka percaya bahwa menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya, yang berarti negara harus menjamin kedudukan hukum individu. Pun hal yang senada diungkapkan oleh Roscoe Pound dalam bukunya Justice Accord ing to Law dan The Tasks of Law memberikan tekanan pada arti pentingnya keadilan yang dapat dinikmati oleh masyarakat tanpa adanya perbedaan.

Kententuan batas usia menandai bahwa hukum diskriminatif mencoba membedakan orang tua dan muda. Orang tua dianggap layak memimpin institusi Negara, sementara orang muda dipandang tak becus dan tak memiliki pengalaman. Pengalaman diukur dengan batasan tua dan muda inilah yang harus menjadi alasan utama yang perlu digugat. Pengetahuan, kejernihan berpikir, kredibilitas, dan ketrampilan (skill) sebenarnya lebih penting ketimbang mengutamakan pengalaman yang pada akhirnya hanya menciptakan kemapanan dan stagnanisasi lembaga.

Pembedaan nampak harus dihilangkan pada syarat menuju keseimbangan dan kesamaan. Orang tua maupun muda sama-sama memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Bukan yang muda hanya memiliki hak memilih dan tidak punya hak untuk dipilih.

Uji Materiil

Kondisi timpang ini masih bisa diselamatkan dengan berbagai upaya. Salah satunya upaya hukum melalui mekanisme judicial review on the constitutionality of law ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution dan sekaligus sebagai the interpreter of constitution bisa menghapus atau memutuskan kententuan yang dinilai timpang untuk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Materi dalam UU No 22 Tahun 2007 terutama pasal 11 huruf b yang mengatur syarat anggota KPU dan Pasal 86 huruf b telah menyalahi aturan kententuan dalam pasal 27 UUD 1945.

Dengan mengajukan uji materiil, masyarakat dapat mengupayakan sarana check and balances terhadap produk yang dihasilkan oleh parlemen dan pemerintah. Mahkamah Konstitusi juga bisa digunakan sebagai saluran yang menjanjikan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat terhadap suatu produk perundang-undangan. Dengan demikian, DPR dan pemerintah bisa beajar agar lebih hati-hati dalam membentuk suatu undang-undang untuk menjaga konstitusionalitasnya, dan juga agar lebih membuka ruang partisipasi politik rakyat dalam membentuk undang-undang. DPR dan pemerintah juga akan lebih arif dan bijak dalam menerbitkan peraturan yang lebih bisa melahirkan keadilan subtantif dan mengkonstruksi tata kehidupan demokasi yang hakiki.


Awaludin Marwan, SH

Kamis, 22 Mei 2008

kami sebut itu REUNI...

Bermula dari sms dari Luluk, yang menyatakan ingin bertandang ke kantor PATTIRO (adhe) karena sedang berada di Jakarta. Lalu, konfirmasi dari Juno dengan adanya ajakan Luluk untuk berkumpul-kumpul di PATTIRO, Rabu sore/malam 22 Mei 2008.

Awalnya aku binggung... namun as my promise before di pelatihan NMCP X, aku SIAP jadi tuan rumah -- dengan dukungan konsumsi dari Madam Lisa tentunya, hehehhe...--

Selanjutanya,
Tanpa diduga eh.. mbak Dian ikutan konfirm akan ikut serta reunian, dengan catatan selepas mengikuti Deklarasi Ganti PolBus di Tugu Proklamasi siangnya. Klop deh! pas seperti yang aku rencanakan dengan Luluk sebelumnya -- hm, tapi Luluk terjerat di Lipi hehehe--

Dengan gerak cepat aku sms semua alumi NMCP X yang berada di Jakarta dan sekitarnya, ada yg respon ada juga yang gak samasekali -- pada sibuk kali yee...--

Jadilah,
Berkumpul-lah : mbak Dian, mbak Lisa, Charles, Agus Garut, Asep, Sekar, Juno, Idzma, Luluk, dan Adhe. Charles dan Agus Garut, kebetulan sedang mengikuti sebuah workshop di Jakarta, dan Idzma juga sedang ada project di Jakarta. Serta si penggagas acara Luluk, emang niat ke Jakarta.
Dan juga ada Lia dan Ade - temen mbak Lisa-
Serta, ad Rony, Upe dan Fika yang juga sedang berada di sekitar Jakarta, namun tak bisa melepas ikatan kegiatan yang sedang diikuti.
Sukses besar membuat mbak Agatha yang jauh di Surabaya..meringis pengen.... hehehe!

Acaranya ngapain aja 17.30-21.30 WIB?
1. Tentu saja makan-makan... dibuka oleh 3 pans pizza hut, es teh, teh anget, dan kopi buatan masing-masing, dan nasi padang di akhir acara.
2. Nonton rekaman di waktu pelatihan dan parodi yang seru itu...
3. Bertukar infomasi, baik secara program dan pribadi hehehe...
4. dan... voluenteering Cuci Gelas :)

Berikut beberapa cuplikan dalam foto :



Sekian... [adhe]



























Rabu, 07 Mei 2008

WAJAH DEMOKRASI KITA


Dewasa ini masih sah diyakini bahwa masa transisi demokrasi Indonesia hanya berjalan secara prosedural dan rapuh. Demokrasi tidak di barengi dengan tegaknya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yakni kebebasan, persamaan, dan kedaulatan mayoritas. Demokrasi menjadi instrumen abstrak yang oleh kalangan elite telah dilupakan dan malah terkadang di pakai hanya sebagai komoditas bagi target pencapaian kepentingan mereka. Dengan dalih demokrasi, elite penguasa menetapkan sistem yang menyulitkan bagi perkembangannya demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil melalui hukum negara. Tak heran kita dengan diskriminasi yang terlihat pascapenetapan beberapa produk perundang-undangan mulai dari Perpres 36 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sampai pada belakangan ini terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah dimana regulasi tersebut banyak kalangan menilai kontra-demokrasi.

Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Karena itu, mungkin saja mengenali dasar-dasar pemerintahan konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni hak asasi dan persamaan di depan hukum yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk bisa secara pantas disebut demokratis.
Persoalan kekerasan yang acapkali muncul mulai dari inkonstitusionalis pemerintah, dan lemahnya penegakan hukum (rule of law) di segala sendi kehidupan. Banyaknya kasus korupsi yang terungkap, menandakan lemahnya penegakan di masa lampau, dan justru saat ini banyak kalangan yang menilai pemberantasan korupsi hanya tebang pilih.

Menengok kebali istilah demokrasi menurut asal kata "rakyat berkuasa" atau goverment as rule by the people, kata yunani demos berarti rakyat, kratos/ kratien berarti kekuasaan/ berkuasa mengingatkan kita pada slogan superior mantan presiden Amerika Abraham Lincoln bahwa demokrasi for people, by people, and to people. Namun memang disadari bahwa sistem demokrasi yang terdapat di negara-kota city state Yunani Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M merupakan demokrasi langsung, direct democracy yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak sesuai dengan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas negara terdiri kota dan daerah sekitarnya serta jumlah penduduknya sedikit 300.000 penduduk dalam satu negara-kota. Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas terdiri dari dari budak belian dan pedagang asingh tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative demokcracy).

Saat ini demokrasi terintrodusir ke dalam sistem negara, dengan juta-an manusia, luasnya sumber daya, dan beragamnya kepentingan. Akankah demokrasi menaui kesuksesannya pada zaman aristokrat bercengkerama dengan idea dan kehidupan kenegaraannya ribuan tahun silam? Lalu, bagaimana kadar dan ukuran demokrasi sebenarnya?. Dan tentunya masih banyak lagi ratusan bahkan ribuan pertanyaan ditujukan pada nasib demokrasi tanah air ini kedepan.



Belajar dari Mountiesque

Kasus KPK Vs DPR RI mengingatkan kita pada sengketa lembaga Negara yang dulu pernah terjadi saat KPK berseteru dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum dan lembaga Negara yang lain. Kompleksitas muncul tatkala kita mendiskursuskan konflik lembaga Negara tersebut dari berbagai kacamata hukum, politik, social dan lain sebagainya. Namun sebuah pikiran sederhana bahwa konflik lembaga tak akan pernah terjadi bila lembaga ini memang sadar akan peran dan tugasnya berdasarkan prinsip pembagian kekuasaan Negara.

Mountiesque mengkonstatasikan legislatif, yudikatif, dan eksekutif terbagi untuk menjalankan roda kekuasaan Negara. Gagasan dasar ini mengingatkan penting sebuah harmonisasi negara dan sinergisitas kearah cita bangsa yang bersangkutan. Pembagian ini dilakukan untuk memudahkan pencapaian tujuan ideal suatu bangsa, sebagaimana halnya bila bangsa Indonesia cita tersebut termaktup dalam pembukaan Konstitusi Dasar Negara.

Pembagian kekuasaan ini bukan dibuat untuk kemudian berselisih antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Namun pembagian kekuasaan ini semata-mata untuk menciptakan system yang dapat dengan mudah, cepat, dan tepat menwujudkan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Check and balances hanya diperuntukkan bagi pembentukan budaya pemerintah yang baik (good government) dan kuatnya masyarakat sipil (the civil society). Hakekat utamanya pada pewujudan cita bangsa yang ideal.

Sialnya, pemikiran Mountiesque hanya berlaku bagi lembaga negara yang sadar, cerdas, dan sehat. Pembagian kekuasaan berjalan baik dengan dukungan lembaga berikut aparatnya yang professional, proporsional dan jujur. Wacana pembubaran KPK oleh sejumlah oknum DPRD atas aras bahwa lembaga Negara watch dog tersebut sudah super body tidak patut di laksanakan di kehidupan masa transisi demokrasi seperti sekarang ini.


Belajar dari Tocqueville

Democracy in America sebuah buku yang di tulis Alexis de Tocqueville aristocrat sekaligus sosiolog Prancis, telah memberikan banyak pelajaran tentang demokrasi dari tinjauan filosofis hingga ke elemen teknis. Pada dasarnya Tocqueville sama halnya dengan penulis kenamaan lainnya seperti Kant, Hegel, hingga zaman Plato, Scorates, dan Aristotelis, yakni prinsip mayoritas yang diutamakan. Namun keunikan tulisan Tocqueville terletak pada komprehensifitas dan objektifitas pandangan terhadap demokrasi di Amerika. Bila di bandingkan, minimal terdapat sekian perbedaan antara tradisi demokrasi Amerika dan Indonesia. Pertama, kemandulan legislative, lembaga ini hanya menjalankan tugas balita yang mudah bisa dilakukan dengan sumber daya dan watak manapun. Bukti kemandulan interpelasi dan angket merupakan fakta outentik bahwa lembaga ini gagal menjalankan fungsi control dan pengawasannya. Bahwa saduran habis system ketatanegaraan amerika yang di tandai dengan Kongres di Amerika sendiri mempunyai 2 lembaga yang jika mereka bertemu dalam suatu tugas dan wewenang tertentu disebut Kongres. Kongres terdiri atas 2 lembaga yaitu House of Representative dan Senate. Sama halnya manakala Indonesia memiliki MPR RI berikut DPR RI dan DPD RI-nya. Namun legislative Amerika konsisten menjalankan fungsinya, yakni Passes federal laws. (Menyetujui Undang-Undang federal). Passes federal budget, levies taxes and funds executive functions (Menyetujui anggaran federal, pajak dan fungsi keuangan eksekutif. Establishes lower federal courts, judicial positions (untuk membuat peradilan rendah federal, menentukan posisinya. Approves treaties and federal appointments (menyetujui perjanjian internasional dan pengangkatan pejabat federal. Declares war (menyatakan perang).

Kedua, Reformasi system peradilan diperlukan mengingat system peradilan Indonesia yang banyak menganut system eropa continental yang ortodoks ketimbang anglo saxon yang masih menempatkan mayoritas –juri- sebagai pengambli keputusan siding. Pendeknya, demokrasi tak hanya di tegakkan di dalam kehidupan social politik, namun juga lebih pada kehidupan hukum negaranya.

Ketiga, Kebebasan pers harus semakin luas. Kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya. Di Indonesia kebebasan pers baru saja muncul 10 (sepuluh) tahun terakhir ini. Belum genap dan bulat penuh, kebebasan ini beberapa kali diterpa dengan berbagai kejadian dan peristiwa besar, mulai dari regulasi hukum antipornografi dan antipornaksi sampai pada terakhir terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 yang disinyalir juga memasung kebebasan pers.

Keempat, partai politik yang berfungsi sebagaimana mestinya. Partai Republik dan Partai Liberal melakukan aktivitas politiknya. Partai menjalankan fungsi sosialisasi, recruitmen, dan pendidikan politik di jalankan dengan baik oleh Amerika. Terutama mereka calon pejabat publik yang direkomendasikan oleh partai, benar-benar seorang yang kompeten dan kapabel hasil dari uji validasi oleh partai dan simpatisan melalui pemilihan pendahuluan (primary). Berbeda dengan partai di republic kita yang di sana-sini sibuk dengan kepentingan praktisnya bahkan acapkali masih terdengar praktek dagang sapi.

Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

JL. Menoreh Utara No. 17 RT 8/ RW 1 Sampangan Semarang. Mobile 081575783855. email dewa_orga@yahoo.co.id

Menyoal Regulasi Pemilu Legislatif


Selain kontroversi persoalan pengaturan pers di dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, ternyata sejumlah kalangan juga menilai banyak kelemahan-kelemahan lain di dalam regulasi tersebut. Diantaranya sistem pemilihan yang masih rapuh, netralitas Aparat Pemerintahan yang masih dipertanyakan, pencekalan riset dan jejak pendapat dan lain sebagainya. Kelemahan ini menandai krisis langkanya niat baik (good will) perilaku elite dalam mendorong kehidupan demokratis yang lebih baik.

Naluri perebutan kekuasaan untuk kepentingan kelompok mengarahkan pada suasana oligarkhis yang kental ketimbang rasa keperpihakkan pada kepentingan khalayak rakyat. Arah perubahan politik melalui regulasi menjadi pilihan instan untuk meluapkan syahwat kekuasaan dan kepentingan elite ini.

Syahwat elite inilah yang berindikasi memberangus kebebasan pers melalui regulasi pemilu legislatif kali ini. Perbuatan ini sungguh sebuah upaya yang kontrademokrasi. Belajar Demokrasi dari Amerika melalui buah pemikiran dalam buku Democracy in America yang di tulis Alexis de Tocqueville aristokrat sekaligus sosiolog Prancis, menjelaskan bahwa kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya bahkan dilindungi.

UU No. 10 Tahun 2008 mengpupuskan harapan pers yang bebas untuk menginformasikan, memberitakan dan justru membonsai fungsi pers sebagai sarana komunikasi politik rakyat. Kententuan bagian keenam tentang pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye UU No. 10 Tahun 2008 menyimpan sederatan pasal yang menjadi embrio persoalan dari perbedatan ini. Pasal 89 ayat 5 yang melarang penyiaran kampanye di masa tenang, pasal 90 dan 91 yang mewajibkan berlaku adil dan berimbang, pasal 92 yang mengatur terlalu rijit bentuk siaran monolog dan dialog kampanye, pasal 93 dapat mengganggu kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa, Pasal 94 melarang media menjual blocking segment atau blocking time, hingga pada penjatuhan sanksi oleh pasal 99 berupa : teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

Sanksi untuk media hingga pada pembekuan dan pencabutan izin, mengingatkan kita pada modus operandi penguasa lama memberlakukan kalangan pers secara tidak adil. Kebasan pers terpasung, tinggal ketakutan dan kegelisahan saja yang melanda saat insan pers untuk berkreativitas dan berekspresi dalam pentas demokrasi –pemilu 2008- mendatang.

Kembali kepada kententuan regulasi pemilu untuk pers, dua hal yang cukup subtansial patut direnungkan kembali. Pertama, pengaturan tersebut dari konteks “ada” masih menuai banyak argument. Sebagian kalangan menilai bahwa peraturan tersebut tak harus ada, bahkan jangan sampai ada. Alasannya antara lain karena pengaturannya sudah terakomodir di dalam UU Pers.

Namun sisa pendapat yang lain menegaskan perlu aturan yang konkret untuk memperjelas aturan main (rule of the game) pemilu mendatang. Alasan kedua tidaklah masih akal, mengakibatkan tumpang tindihnya aturan hukum, sehingga tidak adanya kepastian hukum. Kedua, kerawanan berlanjut dengan ragamnya hemenuetika yang akan berkembang, banyaknya penafsiran bisa saja kententuan tersebut jauh dari tujuan awal bahkan dapat di salah gunakan. Implikasinya, masyarakat pers dapat menjadi sasaran empuk bagi mafia politik yang ingin merengut kebebasannya dengan pasal-pasal karet tersebut.

Netralitas Aparat

Terselenggaranya asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government) hanya menjadi impian saja saat ini. Pasalnya, semenjak terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 praktek penyalahgunaan jabatan publik terbuka bagi kampanye yang melibatkan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, dan Wakil Walikota. Dengan persyaratan “cuti”, penjabat publik dapat berpartisipasi dalam kampanye, dukung-mendukung peserta pemilu. Kententuan ini membuka peluang bagi penyalah gunaan fasilitas, pengaruh, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan guna kepentingan kampanye.

Sebagai penjabat publik, selayaknya posisi netral patut diambil dalam hal ini untuk menjaga kondusifitas iklim politik dan menciptakan keadilan bagi semua peserta pemilu. Kententuan ini mengisyaratkan bahwa elite pembentuk perundang-undangan tersebut memiliki tabiat agar perebutan dan mempertahankan kekuasaan dengan mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan kepala daerah kadernya dan memberi sinyal kepada kadernya tersebut untuk menanggalkan tugas-tugas pemerintahannya demi kepentingan partai/ peserta pemilu.

Kententuan ini juga menandai bahwa ambisi partai yang dulu berkuasa ingin mempertahankan kekuasaannya dengan bertaruh pada pemilihan kepala daerah secara langsung. Karena logikanya partai yang berkuasalah yang memiliki stok kader di jabatan kepala daerah, karena kendaraan pencalonan kepala daerah kebanyakkan dimiliki oleh partai-partai besar.

Regulasi ini menghambat pembangunan pewujudan pemerintahan yang baik (good government). Salah satu indikator pemerintahan yang baik (good government) berdasarkan fatwa , United Nation Development Program (UNDP: 2003) mengharuskan adanya persamaan (equality), dengan demikian penjabat pemerintahan berikut jajarannya dalam konteks pemilu harusnya wajib memberlakukan peserta pemilu dengan adil, berimbang, dan sama. Persamaan (equality) sangat sulit diwujudkan tatkala penjabat pemerintahan kemudian ikut sebagai elemen atau agen pemenangan salah satu / kelompok peserta pemilu, maka tidak akan pernah mungkin mereka dapat berlaku adil terhadap semua kontenstan yang lain.


Kembali ke Masa Kegelapan

Perlu kembali ditelaah persoalan yang berkaitan dengan kententuan yang mengatur survei, jejak pendapat dan perhitungan cepat (quick count) di dalam regulasi pemilu legislatif. Salah satu bentuk pengaturan, pelarangan, bahkan ancaman pemidanaan (kriminalisasi) jelas akan memasung cendiawan dan ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pengabdiannya terhadap kehidupan politik. Kita teringat kembali dengan zaman kegelapan di mana ilmu pengetahuan di tekan dan ilmuwan dikerdilkan hasil buah pikirannya dengan simbol kekuasaan absolute.

Masih teringatkah kita dengan Galilea Galileo yang di hukum gantung karena mempertahankan kebenaran bahwa bumi itu bulat. Namun pada akhirnya di ketahui kenyataannya bahwa pemikiran Galileo tersebut benar adanya. Kekuasaan absolute memberanguskan kebenaran pemikiran bahkan menghilangkan intelektual-inteletual seperti Galileo untuk terus beraktualisasi dengan alam pikirannya melalui tindakan yang tidak manusiawi.

Begitu halnya dengan pengaturan dan pelarangan sebagaimana yang disebutkan dalam kententuan regulasi pemilu legislatif ini. Para inteletual sebelum menjalankan mandat sosial karena pemikiran dan pengetahuan yang dimilikinya, lantas terbayang-bayangi oleh kententuan yang menghambat pengembangan pemikiran dan aktivitasnya tersebut. Bahkan kententuan pidana layimnya membuat kepanikkan dan kegelisahan yang menyumbat kreatifitas para inteletual bangsa ini.

Melihat berbagai ulasan diatas, sebuah resolusi lahir dengan upaya yang salah satunya berada di jalur hukum dengan judicial review untuk merevisi regulasi tersebut sebelum berbagai kententuan di dalamnya dilaksanakan pada pentas demokrasi mendatang. Revisi ditujukan pada penghapusan pengaturan terhadap pers dan survei, jejak pendapat, perhitungan cepat (quick count). Revisi juga diperlukan bagi pembaharuan sistem pemilihan yang prokepentingan rakyat dan kententuan yang menciptakan netralitas aparat pemerintahan.


Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

Jumat, 04 April 2008

Perseorangan dalam Pilkada Siap Bertarung


Realisasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-V/2007 tentang Putusan Calon Independen dalam Pilkada tertanggal 5 maret 2007 yang diperbaiki kembali pada tanggal 13 maret 2007 oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akhirnya menemukan harapan yang cerah. Pasalnya, pengaruh dari putusan ini memberikan landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis bagi revisi UU No. 32 Thun 2004 yang telah di gedok DPR pada tanggal 1 April lalu yang mengakomodir calon perorangan dalam pilkada.

Meskipun dalam pelaksanaan kententuan ini masih memerlukan energi besar karena harus merevisi PP No. 6 Tahun 2005 dan kerja keras KPU untuk membuat petunjuk pelaksanaan dan atau petunjuk teknis, namun persetujuan DPR sah memberikan babak baru bagi pemajuan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Harapan itu bukan sekadar bahwa demokrasi baru ini memberikan ruang yang cukup untuk mempromosikan kebebasan sipil (civil liberties), hak-hak politik (political rights) dan hak asasi manusia (humanity rights) individu tanpa partai politik, tapi juga akan membawa perkembangan peningkatan kesejahteraan politik masyarakat melalui komunikasi yang terjalin baik antara pemilih dengan para calon pemimpin perorangannya. Syarat dukungan bagi calon independen yang berkisar 3-6,5 persen mengharuskan adanya komunikasi langsung antara kandidat dengan khalayak pemilih. Aktivitas persuasif pun dilakukan kandidat untuk memperoleh dukungan, bagaimana masyarakat bersimpatik untuk memberikan dukungannya. Di sinilah terjalin komunikasi yang menguji kualitas calon perorangan tersebut dalam berkomunikasi dengan rakyat pemilih. Dapat dipastikan calon yang berkompeten ialah mereka yang memiliki popularitas dan citra baik serta mampu mengakomodir harapan, kebutuhan, dan aspirasi rakyat secara langsung.

Dengan terbitnya regulasi calon perorangan tidak hanya menandakan ihktikat baik pemangku kebijakan yang melihat bahwa keadilan (fairness) individual penting nilainya. Akan tetapi lebih daripada itu, terselenggaranya tatanan kehidupan hukum yang baik melalui lembaga pemangku kebijakan yang sadar memiliki legitimasi dan kompetensi yang di jalankan dengan baik. Putusan Mahkamah Agung atas ajuan judicial review menetapkan calon incumbent wajib hukumnya untuk mengundurkan diri dari jabatannya, juga di akomodir dan disahkan oleh pemangku kebijakan dalam revisi UU tersebut. Kita masih tetap berharap bahwa legitimasi dan kompetensi ini membentuk kondisi penyelenggaraan kehidupan hukum yang otonom.

Pada tahap itu, urusan utama hukum adalah mempertegas otoritas peraturan dan keputusan dan bukan untuk memastikan bahwa institusi-institusinya memiliki kemauan dan kompetensi untuk melaksanakan mandatnya. Kendatipun dirasa terlambat, karena keputusan calon independen dan kewajiban mengundurkan diri dari jabatan bagi in cumbent sudah di tetapkan tahun lalu, namun baru sekarang keputusan ini di tindak lanjuti konkret oleh pemangku kebijakan. Ke depan, pemangku kebijakan harus lebih progresif dalam menentukan aksi reformasi di bidang hukum ini.

Problem implementasi

Pelaksanaan kententuan baru ini tentunya tak bisa berjalan semulus yang kita bayangkan. Kendala-kendala subtansial sampai pada teknis operasional mewarnai pelaksanaan kententuan ini. Bisa di bayangkan saja untuk mencalonkan diri seorang harus memenuhi persyaratan yang di mulai dari tingginya popularitas sebagai modal awal sampai pada pengumpulan KTP pendukung bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Belum lagi penerimaan masyarakat terhadap calon perorangan belum tentu ekuvalen atau sejalan dengan penerimaan mereka terhadap persyaratan teknisnya. Membutuhkan partisipasi dan pendidikan politik masyarakat yang cukup untuk bersama-sama mewarnai proses politik pilkada yang di ramaikan oleh kehadiran calon perorangan.

Disamping partisipasi dan pendidikan politik masyarakat, suatu hal yang cukup sentral, terdapat beberapa problem implementasi bagi pelaksanaan calon perorangan. Pertama,pengeluaran energi yang relatif besar baik biaya atau waktu. Di satu sisi biaya dan waktu habis dari kandidat untuk mencalonkan diri untuk mengumpulkan dukungan dan memenuhi persyaratan lainnya. Di saat yang bersamaan ini, KPU memerlukan enegri dalam porsi besar untuk memeriksa perlengkapan calon perseorangan. Tentunya pemeriksaan berkas dan persyaratan calon dari partai jauh lebih mudah ketimbang memeriksa berkas dan persyaratan calon dari perorangan.

Kedua, di mungkinkan adanya konflik politik antargolongan non partai. Kemungkinan besar kelompok atau komunitas sosial memiliki peran untuk mengajukan perorangan. Kelompok atau komunitas social ini dulunya tidak terlibat secara langsung dalam aktivitas politik praktis, karena harus lewat jalur partai untuk berpolitik praktis, namun dengan adanya calon perorangan kelompok atau komunitas social ini bisa langsung mengajukan calon perorangan. Benturan kepentingan antarkelompok atau komunitas sosial tak bisa terhindarkan lagi.

Ketiga, kredibilitas dan kualitas calon perorangan tak ada yang bertanggung jawab secara institusional dalam konteks etis. Kredibilitas dan kualitas calon dari partai, cukup logis di tujukan pada partai pengusung. Kita saja menyalahkan partai apabila mengajukan kader yang kurang kompetitif. Namun bagi calon perorangan, tanggung jawab hanya pada individu tersebut.

Keempat, kemitraan dengan DPRD bagi calon peorangan yang memenangi pilkada masih dipertanyakan. Tak bisa di bayangkan manakala calon perorangan menang akan berhadapan dengan DPRD –wakil dari partai. Problem awal muncul masa pelantikan yang di laksanakan pada rapat paripurna DPRD. Belum lagi perumusan APBD dan pelaksanaan program-program pemerintah yang sulit sekali untuk berjalan secara sinergis nantinya.

Awaludin Marwan, SH

DIrektur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA ORGA)

Jawa Tengah

Jumat, 14 Maret 2008

Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia


Dengan anggapan kemenangan partai oposisi Malaysia pada pemilu tanggal 8 Maret 2008 kemarin akankah membawa perubahan signifikan bagi kehidupan tata negara dan demokrasi Malaysia. Sekitar 10,92 juta pemilih terdaftar memberikan suaranya untuk 222 kursi parlemen dan 505 kursi negara bagian. Para pemilih terdaftar itu mendatangi 7.950 TPS. Memang, penghitungan suara, Barisan Nasional, koalisi yang memerintah pemerintah saat ini hanya meraih 139 dari 222 kursi parlemen. Jumlah tersebut kurang dari dua per tiga total yang diperlukan untuk dapat mengontrol parlemen dan mengubah undang-undang. Aliansi oposisi menganggap 82 kursi yang diraih sebagai sebuah kemenangan. Aliansi yang menamakan diri barisan alternatif terdiri dari Partai Keadilan Rakyat, Partai Aksi Demokrasi, dan Partai Islam se-Malaysia ini memperoleh mayoritas kursi di lima negara bagian. Hasil pemilu ini disambut baik rakyat Malaysia dengan harapan oposisi akan mampu berbuat banyak untuk kebaikan rakyat.

Babak baru bagi kehidupan demokrasi Malaysia pun lahir. Demokrasi yang menekankan sebuah metodologis untuk menghasilkan rotasi kekuasaan dan fungsi recruitment politik tercermin dalam pemilu kali ini. Barisan Nasional menjalankan fungsi alat politik cukup superior memimpin Malaysia. Barisan Nasional sebagai koalisi yang memerintah Malaysia sejak merdeka pada 1957 akhirnya akan mengalami kesulitan karena akan berhadapan dengan kelompok oposan di parlemen. Artinya terbuka keran lebar bagi kelompok oposan untuk masuk dalam jabatan politik dan menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Terbongkarnya tirani koalisi partai penguasa negara yang pada awalnya menyerupai keberadaan Golkar di era orde baru yang sulit digoyang. Namun kini ada secercah harapan yang menyediakan ruang bagi keinginan minoritas untuk bersuara dalam struktur kelembagaan negara di parlemen.

Keberadaan barisan nasional dalam lingkaran kehidupan politik negara memang sebelumnya cukup dominan. Barisan nasional (National Front) adalah sebuah gabungan partai-partai politik yang dibentuk pada 1973 kelanjutan Partai Perikatan (Alliance), partai ini telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus. Pada Desember 2003, partai anggota Barisan Nasional adalah: United Malays National Organization Organization (UMNO), Malaysia Chinese Association (MIC), Gerakan Rakyat Malaysia, People’s Progressive Party, Parti Pesaka Bumiputera Bersatu, Sarawak United People’s Party, Parti Bersatu Sabah, Liberal Democratic Party, Parti Bersatu Rakyat Sabah, United Pasokmomogun Kadazandusun Murut Organizatio, Sarawak Progresif Democratic Party. Partai ini melanggengkan kekuasaannya hingga saat ini.

Kekalahan barisan nasional banyak di nilai tidak hanya berasal dari kekecewaan warga terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini –Pemerintahan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi-, hingga tokoh Barisan Nasional Mahattir mengklaim ini sebagai bentuk kesalahan tunggal penjabat Perdana Menteri saat ini. Akan tetapi, kekalahan tersebut juga di sebabkan oleh penerapan strategi politik yang tidak efektif dalam mendapatkan simpati khalayak pemilih oleh mesin politik partai. Partai Keadilan Rakyat (PKR) tampak lebih bersuara dan mendominasi wilayah-wilayah kampanye dengan kehadiran para tokohnya ke titik-titik atau kantong-kantong kuat yang dapat mempengaruhi hasil akhir perhitungan suara. Partai UMNO, sementara itu, memilih strategi dengan lebih menguasai dan mendominasi media massa sebagai alat untuk menyuarakan kehadiran mereka ke masyarakat luas. Dengan demikian, khalayak pemilih lebih memilih dan bersimpatik pada tatap muka langsung dengan komunikator terpercaya, yakni tokoh-tokoh di Barisan Alternatif, ketimbang mereka terbawa oleh opini yang di bangun oleh Barisan Nasional melalui saluran kampanye media massa yang justru kurang massif.

Namun, kabar mengembirakan peluang keseimbangan kekuatan di Malaysia ini –yang di tandai dengan kegagalan Barisan Nasional memperoleh suara penuh- tidak dibarengi dengan isu-isu yang masih bergulat pada persoalan etnisisme. Isu-isu etnis membanjiri bursa opini dalam pentas demokrasi negeri jiran itu. Memang dulu pernah terdapat catatan sejarah kelam konflik antaretnis di Malaysia. Memang, pernah terjadi pertikaian etnis di malaysia, lima orang tewas dan 37 cedera dalam konflik antar-etnis Melayu dan India pada 11 Maret 2001 di daerah Petaling Jaya. Konflik ditengarai oleh arak-arakan pemakaman masyarakat keturunan India melewati tempat perayaan pesta pernikahan warga melayu. Peristiwa ini merupakan yang pertama sejak Maret 1998 sejak terjadi protes kelompok Hindu Malaysia yang memprotes rencana pemindahan kuil Hindu di bagian utara nagara bagian Penang. Dalam peristiwa tersebut, 9 orang cedera.

Namun wacana etnisisme ini harusnya tidak terdapat di dalam pentas demokratis yang sehat semasa ini. Demokrasi yang menempatkan persamaan dan kebebasan hak, bukan kemudian di salah artikan ke dalam kebebasan untuk mengumpat etnis lain dan memunculkan jurang pemisah pada perbedaan yang telah ada.

Melayu merupakan mayoritas dalam penduduk Malaysia (55 persen), Cina sebanyak 30 pesren dan India sebanyak 10 persen. Penduduk keturunan India kebanyakan pekerja sebagai profesional, sementara banyak juga yang terpinggirkan dalam masyarakat Malaysia. Banyak yang mengkhawatirkan konflik antar-etnis ini akan mengulangi
peristiwa konflik etnis Cina-Melayu pada 1969. Dan sialnya, barisan nasional melalui stigma yang melekat pada Badawi, memperoleh predikat menganak emaskan etnis melayu ini.

Sistem Pemerintahan Pascapemilu

Dengan adanya perubahan komposisi di parlemen Malaysia, tentu banyak harapan untuk sebuah perubahan. Perubahan dalam skala besar ataupun kecil memiliki peluang yang sama. Perubahan skala besar di peroleh dari pembaharuan system ketatanegaraan, sedangkan skala kecil di tandai dengan perubahan norma-norma dan nilai-nilai social politik hukum dalam kehidupan bernegara.

Dapat dilihat dalam system ketatanegaraan Malaysia yang menganut sistem parlementer namun masih melestarikan pola feodal berupa dominasi raja (kerajaan) dalam struktur negara. Demokrasi parlementer suatu hal yang dapat di kenal dalam pola organisasi antara eksekutif dan legislatif yang selalu berhadapan dan berjalan berirama. Namun keberadaan kerajaan sebagai simbol negara masih dapat dipandang elemen struktural yang absolute dan otoritarian. Sebuah pandangan yang layim manakala kedudukan dan peran Yang Dipertuan Agung di Malaysia masih mencerminkan kesetengah-hatian Negara itu menjalankan system demokrasi subtansial –meskippun dalam praktek pemilihan raja menganut system “pergiliran kekuasaan” yang berasal dari 9 kerajaan yakni: Yang di Pertuan Besar dari Negeri Sembilan; Sultan Selangor, Raja Perlis, Sultan Terengganu, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Sultan Pahang, Sultan Johor, dan Sultan Perak. Meski, banyak Negara yang juga masih melestarikan budaya dan system kerajaan ini seperti Kerajaan Inggris Raya dengan Negara kesatuan (unitary state) berbaur dengan kerajaan (unitary kingdom) yang memiliki dua kamar terpisah : House of Commons (diketuai oleh PM) dan House of Lord (merupakan warisan keluarga kerajaan, kemudian kerajaan Jepang raya dengan Kaisar, Parlemen (kokkai), majelis tinggi (sangiin), majelis rendah (shugiin) ataupun kerajaan Arab Saudi dengan dinasti Ibnu Saud-nya, dan masih banyak berbagai Negara yang melestarikan kebudayaan dan system kerajaan ini. Kendatipun demikian, kita masih berharap bahwa perubahan akan terjadi pascapemilu terhadap keberadaan, peran, dan kedudukan kerajaan di Malaysia untuk pembaharuan kehidupan demokrasi sejati.

Satu catatan akhir untuk perubahan pascapemilu ini adalah akan lahirnya check and balances yang berjalan dengan baik. Perubahan komposisi di tubuh parlemen –banyaknya kubu oposisi dalam struktur- hendaknya mengarahkan pada hubungan eksekutif dan legislatif, di mana legislatif terus pro-aktif menjalankan fungsi pengawasan dan kontrolnya dengan baik dan efektif.

Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif

Democracy Watch Organization