Kamis, 24 Juli 2008

Catatan di Akhir PIMNAS

PIMNAS telah usai. Selayang pandang di akhir pelaksanaan PIMNAS menampakkan sejumlah catatan. Tentang intelektualitas karbitan, syahwat “proyek”-isme versus kreatifitas karya idealis mahasiswa, dan dominasi ilmu eksak.

Rasa-rasanya, PIMNAS memang hanya menciptakan intelektual muda karbitan. Kadar inteletualitas seseorang mahasiswa diukur dengan kemenangannya di arena perlombaan yang hanya berproses selama se-pekan. Padahal, intelektualitas selayaknya tidak di nilai oleh proses yang berlangsung instan, melainkan dibutuhkan waktu berproses yang lama. Lamanya seseorang inteletual merupakan syarat sah akan konsistensi pemikirannya terhadap kebenaran yang ditandai dengan karya-karyanya yang banyak di akui oleh khalayak umum.
Dengan demikian, kemenangan sejumah peserta PIMNAS bukanlah suatu kebanggaan. Sebab, upaya ilmiahnya hanya sampai di titik itu. Inteletualitas dari kemenangan itu diperoleh dengan proses yang instan. Dan tinggal bagaimana si-pemenang kemudian mampu mempertahankan karya intelektualnya itu di dalam arus ilmu pengetahuan selepas dari PIMNAS. Walaupun pada kenyataannya jarang sekali kita temukan kader PIMNAS yang masih survive di belantara perkembangan ilmu pengetahuan.
Kader PIMNAS juga nampaknya akan mengalami kesulitan pada tingkatan follow up, jika tidak dibarengi dengan inisiatif sendiri. Karya-karya peserta tak ubahnya bagaikan sederetan pameran tanpa makna yang kemudian di nilai oleh Negara. Negara sepertinya tidak menyediakan sarana pemanfaatan karya-karya ini sebagai bahan-bahan pengembangan sains kearah yang lebih serius. Umpamanya saja untuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right) yang tidak di usahakan untuk temuan-temuan yang dihasilkan oleh peserta PIMNAS.
Padahal perlindungan di ranah penemuan teknologi penting untuk dilindungi dengan hak paten (patent right). Sedangkan di bidang penelitian diperlukan hak cipta (copy right). Perlindungan ini tak hanya penting bagi pencipta yang tak ingin berhadapan dengan aksi pembajakkan atau penjiplakkan, tapi juga menjaga orisinalitas dan menjaga hak moral dari si pencipta atas suatu barang.
Baru saja di sudut atensi perlindungan hukum terhadap karya-karya peserta PIMNAS tidak banyak diperhatikan. Apalagi soal yang lain, misalnya mengembangkan karya sampai pada kemanfaatannya secara ekonomis maupun pemberdayaan berlanjut guna meningkatkan mutu dan kualitas karya.
Persoalan ini terkadang yang mendorong peserta PIMNAS menjatuhkan pilihannya kepada spekulan perusahaan yang lebih menjanjikan untuk mengembangkan karya-karyanya. Dari sinilah timbul kerawanan eksploitasi karya intelektualitas anak bangsa oleh sejumlah perusahaan multinasional. Beberapa karya yang kebetulan bernilai, ternyata sudah di tunggu-tunggu oleh pelaku bisnis komersil.

Kembali ke Fungsi
PIMNAS memang sudah saatnya dikembalikan ke fungsi asalnya. Sesungguhnya karya-karya yang dipertarungkan hanya memiliki dua tujuan. Yakni, mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencetak kader intelektual mahasiswa. Sedikit ketimpangan terlihat di banyak sudut tentang kejernihan tujuan ideal ini. Pertama, pengembangan ilmu pengetahuan tak bisa berjalan dengan maksimal. Karena eksistensi Progran Kreatifitas Mahasiswa Teknologi (PKMT) dan Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang menjadi ruh pengembangan ilmu pengetahuan dihegemoni oleh ilmu eksak.
Ilmu sosial tak banyak mendapatkan ruang perhatian. Sehingga pengembangan ilmu pengetahuan secara dini yang dimulai dari mahasiswa tidak berjalan secara balances. Bagaimana kita menerapkan teknologi dan penemuan yang berasal dari ilmu eksak ini ke dalam kehidupan sosialitas manusia jika kita tidak mempelajari ilmu sosial.
Program-program inovatif kebanyakkan yang lolos sampai ke penghujung perlombaan umumnya disibukkan dengan tematik tentang seputar teknik, biologi, fisika, kimia, dan sejenisnya. Jarang sekali, bahkan hampir tak pernah ada yang membahas tentang dampak sosial sebuah teknologi, studi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga (covenant international on economic, social, and culture right) atas suatu proyek teknologis.
Sosial dalam terminologi yang lebih luas dapat kita pakai konsepsi yang pernah di sampaikan oleh Talcot Parsons dalam The Structure of Social Actions maupun Toward a General Theory of Action. Bahwa masyarakat memiliki “sikap alamiah” yang mengandung kemampuan untuk mengolah objek tertentu, memberikan umpan balik senang atau tidak senang, siap atau tidak siap, dan yakin atau tidak yakin. Beranjak dari konsepsi ini, maka tak heran apabila “objek teknologis” dengan mudah di tolak oleh masyarakat. Rencana pembangunan yang berdimensi teknologis, PLTN, PLTU, dan sejenisnya di tolak oleh masyarakat karena tidak menghiraukan aspek sosial masyarakat.
Kedua, persoalan intelektualitas semu. PIMNAS tidak mensyaratkan inovasi dan karya murni mahasiswa. Sehingga dalam kenyataannya, banyak diantara mereka peserta PIMNAS yang sekadar memodifikasi bahkan menjiplak habis dari karya dosen pembimbing. Beruntunglah perguruan tinggi yang banyak mendapatkan hibah penelitian, karena hasilnya bisa dipakai juga oleh tim-tim mahasiswa yang berlomba di PIMNAS. Disini, ide asli mahasiswa dipertanyakan.


Awaludin Marwan
Pegiat Diskusi Komunitas Embun Pagi Semarang

Tidak ada komentar: