Alih-alih pemikiran dan wacana tentang pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi yang muda memimpin mengalami kebuntuan. Elit tua belum merelakan kemunculan orang muda. Hal ini nampak dalam regulasi yang tak mengijinkan kemunculan orang muda untuk dapat memiliki peran di kehidupan bernegara.
Bagi orang muda dengan karier dengan track record yang gemilang, dijamin dan dihargai di sistem politik Amerika. Demokrasi Amerika kembali menyajikan pemandangan yang menarik. Barack Obama menebarkan banyak inspirasi kita berkehidupan politik pascamodern. Di usianya yang masih muda belia, 43 tahun telah menjabat senator Illionis. Kini kursi kepresidenan sudah di hadapan mata setelah mengalahkan saingannya terberat Hillary Clinton.
Sosok Obama tidak hanya dapat dijadikan patokan, bahwa bukan saja keberhasilan person marketing dan tim suksesnya melakukan positioning –strategi menancamkan citra tertentu di benak pemilih. Namun juga sistem yang menyediakan sarana bagi kemunculan orang muda menjadi pemimpin.
Bagaimana dengan penghargaan terhadap orang muda di sistem politik Negara dunia ketiga, khususnya Indonesia yang memiliki heterogenitas dan kemajemukkan yang kental ini?.
Orang muda kurang memiliki ruang latihan kepemimpinan dalam struktur Negara. Mereka harus rela menanti sampai pemimpin yang tua telah kehilangan minat untuk berkuasa. Entah sampai kapan minat orang tua ini berakhir, kita semua tidak tahu pastinya. Harapan perubahan menemui kebuntuan.
Regulasi sebagai subtansi untuk melahirkan struktur dan kultur masyarakat, tidak memperkenankan orang muda menduduki jabatan-jabatan penting. Kita bisa melihat bahwa UU No 22 Tahun 2007 terutama pasal 11 huruf b yang mengatur syarat anggota KPU dan Pasal 86 huruf b yang menjelaskan persyaratan Bawaslu. Kententuan dalam dua pasal ini menyebutkan bahwa calon anggota KPU dan Bawaslu harus berusia minimal 30 tahun.
Batas usia petanda jelas upaya penjegalan orang muda untuk berkarier dan mengabdikan kemampuannya untuk Negara. Padahal figur-figur baru banyak kita dapatkan dan harapkan dari orang-orang muda. Orang muda simbol perubahan dan orang tua lambang dari kemapanan atau masa lalu yang suram.
Selain menghalangi orang muda berkarier, batasan usia, menghambat proses pertumbuhan demokrasi. Batasan usia membuat sirkulasi elite tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sirkulasi elite penting bagi demokrasi. Robert A. Dahl percaya bahwa sirkulasi elite sebagai salah satu hal terpenting bagi demokrasi dalam bukunya Democracy and Its Critics. Sirkulasi elit mengharuskan pergantian kepemimpinan di instusi-institusi yang di kuasai oleh Negara. Pandangan selama ini hanya menampakkan bahwa institusi-institusi Negara hanya dipimpin oleh orang-orang itu saja, sindrom “kamu lagi-kamu lagi”.
Diskriminasi pun terlihat dalam regulasi ini. Sebagai regulasi yang bisa difalsifikasikan dalam sumber hukum materiil. Regulasi tersebut tidak memenuhi tujuan hukum subtansial. Hukum harus menjamin keadilan, kata Kant, Stammler, Radbruch. Mereka percaya bahwa menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya, yang berarti negara harus menjamin kedudukan hukum individu. Pun hal yang senada diungkapkan oleh Roscoe Pound dalam bukunya Justice Accord ing to Law dan The Tasks of Law memberikan tekanan pada arti pentingnya keadilan yang dapat dinikmati oleh masyarakat tanpa adanya perbedaan.
Kententuan batas usia menandai bahwa hukum diskriminatif mencoba membedakan orang tua dan muda. Orang tua dianggap layak memimpin institusi Negara, sementara orang muda dipandang tak becus dan tak memiliki pengalaman. Pengalaman diukur dengan batasan tua dan muda inilah yang harus menjadi alasan utama yang perlu digugat. Pengetahuan, kejernihan berpikir, kredibilitas, dan ketrampilan (skill) sebenarnya lebih penting ketimbang mengutamakan pengalaman yang pada akhirnya hanya menciptakan kemapanan dan stagnanisasi lembaga.
Pembedaan nampak harus dihilangkan pada syarat menuju keseimbangan dan kesamaan. Orang tua maupun muda sama-sama memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Bukan yang muda hanya memiliki hak memilih dan tidak punya hak untuk dipilih.
Uji Materiil
Kondisi timpang ini masih bisa diselamatkan dengan berbagai upaya. Salah satunya upaya hukum melalui mekanisme judicial review on the constitutionality of law ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution dan sekaligus sebagai the interpreter of constitution bisa menghapus atau memutuskan kententuan yang dinilai timpang untuk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Materi dalam UU No 22 Tahun 2007 terutama pasal 11 huruf b yang mengatur syarat anggota KPU dan Pasal 86 huruf b telah menyalahi aturan kententuan dalam pasal 27 UUD 1945.
Dengan mengajukan uji materiil, masyarakat dapat mengupayakan sarana check and balances terhadap produk yang dihasilkan oleh parlemen dan pemerintah. Mahkamah Konstitusi juga bisa digunakan sebagai saluran yang menjanjikan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat terhadap suatu produk perundang-undangan. Dengan demikian, DPR dan pemerintah bisa beajar agar lebih hati-hati dalam membentuk suatu undang-undang untuk menjaga konstitusionalitasnya, dan juga agar lebih membuka ruang partisipasi politik rakyat dalam membentuk undang-undang. DPR dan pemerintah juga akan lebih arif dan bijak dalam menerbitkan peraturan yang lebih bisa melahirkan keadilan subtantif dan mengkonstruksi tata kehidupan demokasi yang hakiki.
Awaludin Marwan, SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar