Kamis, 22 Mei 2008

kami sebut itu REUNI...

Bermula dari sms dari Luluk, yang menyatakan ingin bertandang ke kantor PATTIRO (adhe) karena sedang berada di Jakarta. Lalu, konfirmasi dari Juno dengan adanya ajakan Luluk untuk berkumpul-kumpul di PATTIRO, Rabu sore/malam 22 Mei 2008.

Awalnya aku binggung... namun as my promise before di pelatihan NMCP X, aku SIAP jadi tuan rumah -- dengan dukungan konsumsi dari Madam Lisa tentunya, hehehhe...--

Selanjutanya,
Tanpa diduga eh.. mbak Dian ikutan konfirm akan ikut serta reunian, dengan catatan selepas mengikuti Deklarasi Ganti PolBus di Tugu Proklamasi siangnya. Klop deh! pas seperti yang aku rencanakan dengan Luluk sebelumnya -- hm, tapi Luluk terjerat di Lipi hehehe--

Dengan gerak cepat aku sms semua alumi NMCP X yang berada di Jakarta dan sekitarnya, ada yg respon ada juga yang gak samasekali -- pada sibuk kali yee...--

Jadilah,
Berkumpul-lah : mbak Dian, mbak Lisa, Charles, Agus Garut, Asep, Sekar, Juno, Idzma, Luluk, dan Adhe. Charles dan Agus Garut, kebetulan sedang mengikuti sebuah workshop di Jakarta, dan Idzma juga sedang ada project di Jakarta. Serta si penggagas acara Luluk, emang niat ke Jakarta.
Dan juga ada Lia dan Ade - temen mbak Lisa-
Serta, ad Rony, Upe dan Fika yang juga sedang berada di sekitar Jakarta, namun tak bisa melepas ikatan kegiatan yang sedang diikuti.
Sukses besar membuat mbak Agatha yang jauh di Surabaya..meringis pengen.... hehehe!

Acaranya ngapain aja 17.30-21.30 WIB?
1. Tentu saja makan-makan... dibuka oleh 3 pans pizza hut, es teh, teh anget, dan kopi buatan masing-masing, dan nasi padang di akhir acara.
2. Nonton rekaman di waktu pelatihan dan parodi yang seru itu...
3. Bertukar infomasi, baik secara program dan pribadi hehehe...
4. dan... voluenteering Cuci Gelas :)

Berikut beberapa cuplikan dalam foto :



Sekian... [adhe]



























Rabu, 07 Mei 2008

WAJAH DEMOKRASI KITA


Dewasa ini masih sah diyakini bahwa masa transisi demokrasi Indonesia hanya berjalan secara prosedural dan rapuh. Demokrasi tidak di barengi dengan tegaknya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yakni kebebasan, persamaan, dan kedaulatan mayoritas. Demokrasi menjadi instrumen abstrak yang oleh kalangan elite telah dilupakan dan malah terkadang di pakai hanya sebagai komoditas bagi target pencapaian kepentingan mereka. Dengan dalih demokrasi, elite penguasa menetapkan sistem yang menyulitkan bagi perkembangannya demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil melalui hukum negara. Tak heran kita dengan diskriminasi yang terlihat pascapenetapan beberapa produk perundang-undangan mulai dari Perpres 36 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sampai pada belakangan ini terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah dimana regulasi tersebut banyak kalangan menilai kontra-demokrasi.

Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Karena itu, mungkin saja mengenali dasar-dasar pemerintahan konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni hak asasi dan persamaan di depan hukum yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk bisa secara pantas disebut demokratis.
Persoalan kekerasan yang acapkali muncul mulai dari inkonstitusionalis pemerintah, dan lemahnya penegakan hukum (rule of law) di segala sendi kehidupan. Banyaknya kasus korupsi yang terungkap, menandakan lemahnya penegakan di masa lampau, dan justru saat ini banyak kalangan yang menilai pemberantasan korupsi hanya tebang pilih.

Menengok kebali istilah demokrasi menurut asal kata "rakyat berkuasa" atau goverment as rule by the people, kata yunani demos berarti rakyat, kratos/ kratien berarti kekuasaan/ berkuasa mengingatkan kita pada slogan superior mantan presiden Amerika Abraham Lincoln bahwa demokrasi for people, by people, and to people. Namun memang disadari bahwa sistem demokrasi yang terdapat di negara-kota city state Yunani Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M merupakan demokrasi langsung, direct democracy yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak sesuai dengan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas negara terdiri kota dan daerah sekitarnya serta jumlah penduduknya sedikit 300.000 penduduk dalam satu negara-kota. Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas terdiri dari dari budak belian dan pedagang asingh tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative demokcracy).

Saat ini demokrasi terintrodusir ke dalam sistem negara, dengan juta-an manusia, luasnya sumber daya, dan beragamnya kepentingan. Akankah demokrasi menaui kesuksesannya pada zaman aristokrat bercengkerama dengan idea dan kehidupan kenegaraannya ribuan tahun silam? Lalu, bagaimana kadar dan ukuran demokrasi sebenarnya?. Dan tentunya masih banyak lagi ratusan bahkan ribuan pertanyaan ditujukan pada nasib demokrasi tanah air ini kedepan.



Belajar dari Mountiesque

Kasus KPK Vs DPR RI mengingatkan kita pada sengketa lembaga Negara yang dulu pernah terjadi saat KPK berseteru dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum dan lembaga Negara yang lain. Kompleksitas muncul tatkala kita mendiskursuskan konflik lembaga Negara tersebut dari berbagai kacamata hukum, politik, social dan lain sebagainya. Namun sebuah pikiran sederhana bahwa konflik lembaga tak akan pernah terjadi bila lembaga ini memang sadar akan peran dan tugasnya berdasarkan prinsip pembagian kekuasaan Negara.

Mountiesque mengkonstatasikan legislatif, yudikatif, dan eksekutif terbagi untuk menjalankan roda kekuasaan Negara. Gagasan dasar ini mengingatkan penting sebuah harmonisasi negara dan sinergisitas kearah cita bangsa yang bersangkutan. Pembagian ini dilakukan untuk memudahkan pencapaian tujuan ideal suatu bangsa, sebagaimana halnya bila bangsa Indonesia cita tersebut termaktup dalam pembukaan Konstitusi Dasar Negara.

Pembagian kekuasaan ini bukan dibuat untuk kemudian berselisih antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Namun pembagian kekuasaan ini semata-mata untuk menciptakan system yang dapat dengan mudah, cepat, dan tepat menwujudkan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Check and balances hanya diperuntukkan bagi pembentukan budaya pemerintah yang baik (good government) dan kuatnya masyarakat sipil (the civil society). Hakekat utamanya pada pewujudan cita bangsa yang ideal.

Sialnya, pemikiran Mountiesque hanya berlaku bagi lembaga negara yang sadar, cerdas, dan sehat. Pembagian kekuasaan berjalan baik dengan dukungan lembaga berikut aparatnya yang professional, proporsional dan jujur. Wacana pembubaran KPK oleh sejumlah oknum DPRD atas aras bahwa lembaga Negara watch dog tersebut sudah super body tidak patut di laksanakan di kehidupan masa transisi demokrasi seperti sekarang ini.


Belajar dari Tocqueville

Democracy in America sebuah buku yang di tulis Alexis de Tocqueville aristocrat sekaligus sosiolog Prancis, telah memberikan banyak pelajaran tentang demokrasi dari tinjauan filosofis hingga ke elemen teknis. Pada dasarnya Tocqueville sama halnya dengan penulis kenamaan lainnya seperti Kant, Hegel, hingga zaman Plato, Scorates, dan Aristotelis, yakni prinsip mayoritas yang diutamakan. Namun keunikan tulisan Tocqueville terletak pada komprehensifitas dan objektifitas pandangan terhadap demokrasi di Amerika. Bila di bandingkan, minimal terdapat sekian perbedaan antara tradisi demokrasi Amerika dan Indonesia. Pertama, kemandulan legislative, lembaga ini hanya menjalankan tugas balita yang mudah bisa dilakukan dengan sumber daya dan watak manapun. Bukti kemandulan interpelasi dan angket merupakan fakta outentik bahwa lembaga ini gagal menjalankan fungsi control dan pengawasannya. Bahwa saduran habis system ketatanegaraan amerika yang di tandai dengan Kongres di Amerika sendiri mempunyai 2 lembaga yang jika mereka bertemu dalam suatu tugas dan wewenang tertentu disebut Kongres. Kongres terdiri atas 2 lembaga yaitu House of Representative dan Senate. Sama halnya manakala Indonesia memiliki MPR RI berikut DPR RI dan DPD RI-nya. Namun legislative Amerika konsisten menjalankan fungsinya, yakni Passes federal laws. (Menyetujui Undang-Undang federal). Passes federal budget, levies taxes and funds executive functions (Menyetujui anggaran federal, pajak dan fungsi keuangan eksekutif. Establishes lower federal courts, judicial positions (untuk membuat peradilan rendah federal, menentukan posisinya. Approves treaties and federal appointments (menyetujui perjanjian internasional dan pengangkatan pejabat federal. Declares war (menyatakan perang).

Kedua, Reformasi system peradilan diperlukan mengingat system peradilan Indonesia yang banyak menganut system eropa continental yang ortodoks ketimbang anglo saxon yang masih menempatkan mayoritas –juri- sebagai pengambli keputusan siding. Pendeknya, demokrasi tak hanya di tegakkan di dalam kehidupan social politik, namun juga lebih pada kehidupan hukum negaranya.

Ketiga, Kebebasan pers harus semakin luas. Kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya. Di Indonesia kebebasan pers baru saja muncul 10 (sepuluh) tahun terakhir ini. Belum genap dan bulat penuh, kebebasan ini beberapa kali diterpa dengan berbagai kejadian dan peristiwa besar, mulai dari regulasi hukum antipornografi dan antipornaksi sampai pada terakhir terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 yang disinyalir juga memasung kebebasan pers.

Keempat, partai politik yang berfungsi sebagaimana mestinya. Partai Republik dan Partai Liberal melakukan aktivitas politiknya. Partai menjalankan fungsi sosialisasi, recruitmen, dan pendidikan politik di jalankan dengan baik oleh Amerika. Terutama mereka calon pejabat publik yang direkomendasikan oleh partai, benar-benar seorang yang kompeten dan kapabel hasil dari uji validasi oleh partai dan simpatisan melalui pemilihan pendahuluan (primary). Berbeda dengan partai di republic kita yang di sana-sini sibuk dengan kepentingan praktisnya bahkan acapkali masih terdengar praktek dagang sapi.

Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

JL. Menoreh Utara No. 17 RT 8/ RW 1 Sampangan Semarang. Mobile 081575783855. email dewa_orga@yahoo.co.id

Menyoal Regulasi Pemilu Legislatif


Selain kontroversi persoalan pengaturan pers di dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, ternyata sejumlah kalangan juga menilai banyak kelemahan-kelemahan lain di dalam regulasi tersebut. Diantaranya sistem pemilihan yang masih rapuh, netralitas Aparat Pemerintahan yang masih dipertanyakan, pencekalan riset dan jejak pendapat dan lain sebagainya. Kelemahan ini menandai krisis langkanya niat baik (good will) perilaku elite dalam mendorong kehidupan demokratis yang lebih baik.

Naluri perebutan kekuasaan untuk kepentingan kelompok mengarahkan pada suasana oligarkhis yang kental ketimbang rasa keperpihakkan pada kepentingan khalayak rakyat. Arah perubahan politik melalui regulasi menjadi pilihan instan untuk meluapkan syahwat kekuasaan dan kepentingan elite ini.

Syahwat elite inilah yang berindikasi memberangus kebebasan pers melalui regulasi pemilu legislatif kali ini. Perbuatan ini sungguh sebuah upaya yang kontrademokrasi. Belajar Demokrasi dari Amerika melalui buah pemikiran dalam buku Democracy in America yang di tulis Alexis de Tocqueville aristokrat sekaligus sosiolog Prancis, menjelaskan bahwa kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya bahkan dilindungi.

UU No. 10 Tahun 2008 mengpupuskan harapan pers yang bebas untuk menginformasikan, memberitakan dan justru membonsai fungsi pers sebagai sarana komunikasi politik rakyat. Kententuan bagian keenam tentang pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye UU No. 10 Tahun 2008 menyimpan sederatan pasal yang menjadi embrio persoalan dari perbedatan ini. Pasal 89 ayat 5 yang melarang penyiaran kampanye di masa tenang, pasal 90 dan 91 yang mewajibkan berlaku adil dan berimbang, pasal 92 yang mengatur terlalu rijit bentuk siaran monolog dan dialog kampanye, pasal 93 dapat mengganggu kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa, Pasal 94 melarang media menjual blocking segment atau blocking time, hingga pada penjatuhan sanksi oleh pasal 99 berupa : teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

Sanksi untuk media hingga pada pembekuan dan pencabutan izin, mengingatkan kita pada modus operandi penguasa lama memberlakukan kalangan pers secara tidak adil. Kebasan pers terpasung, tinggal ketakutan dan kegelisahan saja yang melanda saat insan pers untuk berkreativitas dan berekspresi dalam pentas demokrasi –pemilu 2008- mendatang.

Kembali kepada kententuan regulasi pemilu untuk pers, dua hal yang cukup subtansial patut direnungkan kembali. Pertama, pengaturan tersebut dari konteks “ada” masih menuai banyak argument. Sebagian kalangan menilai bahwa peraturan tersebut tak harus ada, bahkan jangan sampai ada. Alasannya antara lain karena pengaturannya sudah terakomodir di dalam UU Pers.

Namun sisa pendapat yang lain menegaskan perlu aturan yang konkret untuk memperjelas aturan main (rule of the game) pemilu mendatang. Alasan kedua tidaklah masih akal, mengakibatkan tumpang tindihnya aturan hukum, sehingga tidak adanya kepastian hukum. Kedua, kerawanan berlanjut dengan ragamnya hemenuetika yang akan berkembang, banyaknya penafsiran bisa saja kententuan tersebut jauh dari tujuan awal bahkan dapat di salah gunakan. Implikasinya, masyarakat pers dapat menjadi sasaran empuk bagi mafia politik yang ingin merengut kebebasannya dengan pasal-pasal karet tersebut.

Netralitas Aparat

Terselenggaranya asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government) hanya menjadi impian saja saat ini. Pasalnya, semenjak terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 praktek penyalahgunaan jabatan publik terbuka bagi kampanye yang melibatkan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, dan Wakil Walikota. Dengan persyaratan “cuti”, penjabat publik dapat berpartisipasi dalam kampanye, dukung-mendukung peserta pemilu. Kententuan ini membuka peluang bagi penyalah gunaan fasilitas, pengaruh, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan guna kepentingan kampanye.

Sebagai penjabat publik, selayaknya posisi netral patut diambil dalam hal ini untuk menjaga kondusifitas iklim politik dan menciptakan keadilan bagi semua peserta pemilu. Kententuan ini mengisyaratkan bahwa elite pembentuk perundang-undangan tersebut memiliki tabiat agar perebutan dan mempertahankan kekuasaan dengan mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan kepala daerah kadernya dan memberi sinyal kepada kadernya tersebut untuk menanggalkan tugas-tugas pemerintahannya demi kepentingan partai/ peserta pemilu.

Kententuan ini juga menandai bahwa ambisi partai yang dulu berkuasa ingin mempertahankan kekuasaannya dengan bertaruh pada pemilihan kepala daerah secara langsung. Karena logikanya partai yang berkuasalah yang memiliki stok kader di jabatan kepala daerah, karena kendaraan pencalonan kepala daerah kebanyakkan dimiliki oleh partai-partai besar.

Regulasi ini menghambat pembangunan pewujudan pemerintahan yang baik (good government). Salah satu indikator pemerintahan yang baik (good government) berdasarkan fatwa , United Nation Development Program (UNDP: 2003) mengharuskan adanya persamaan (equality), dengan demikian penjabat pemerintahan berikut jajarannya dalam konteks pemilu harusnya wajib memberlakukan peserta pemilu dengan adil, berimbang, dan sama. Persamaan (equality) sangat sulit diwujudkan tatkala penjabat pemerintahan kemudian ikut sebagai elemen atau agen pemenangan salah satu / kelompok peserta pemilu, maka tidak akan pernah mungkin mereka dapat berlaku adil terhadap semua kontenstan yang lain.


Kembali ke Masa Kegelapan

Perlu kembali ditelaah persoalan yang berkaitan dengan kententuan yang mengatur survei, jejak pendapat dan perhitungan cepat (quick count) di dalam regulasi pemilu legislatif. Salah satu bentuk pengaturan, pelarangan, bahkan ancaman pemidanaan (kriminalisasi) jelas akan memasung cendiawan dan ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pengabdiannya terhadap kehidupan politik. Kita teringat kembali dengan zaman kegelapan di mana ilmu pengetahuan di tekan dan ilmuwan dikerdilkan hasil buah pikirannya dengan simbol kekuasaan absolute.

Masih teringatkah kita dengan Galilea Galileo yang di hukum gantung karena mempertahankan kebenaran bahwa bumi itu bulat. Namun pada akhirnya di ketahui kenyataannya bahwa pemikiran Galileo tersebut benar adanya. Kekuasaan absolute memberanguskan kebenaran pemikiran bahkan menghilangkan intelektual-inteletual seperti Galileo untuk terus beraktualisasi dengan alam pikirannya melalui tindakan yang tidak manusiawi.

Begitu halnya dengan pengaturan dan pelarangan sebagaimana yang disebutkan dalam kententuan regulasi pemilu legislatif ini. Para inteletual sebelum menjalankan mandat sosial karena pemikiran dan pengetahuan yang dimilikinya, lantas terbayang-bayangi oleh kententuan yang menghambat pengembangan pemikiran dan aktivitasnya tersebut. Bahkan kententuan pidana layimnya membuat kepanikkan dan kegelisahan yang menyumbat kreatifitas para inteletual bangsa ini.

Melihat berbagai ulasan diatas, sebuah resolusi lahir dengan upaya yang salah satunya berada di jalur hukum dengan judicial review untuk merevisi regulasi tersebut sebelum berbagai kententuan di dalamnya dilaksanakan pada pentas demokrasi mendatang. Revisi ditujukan pada penghapusan pengaturan terhadap pers dan survei, jejak pendapat, perhitungan cepat (quick count). Revisi juga diperlukan bagi pembaharuan sistem pemilihan yang prokepentingan rakyat dan kententuan yang menciptakan netralitas aparat pemerintahan.


Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah