Rabu, 07 Mei 2008

WAJAH DEMOKRASI KITA


Dewasa ini masih sah diyakini bahwa masa transisi demokrasi Indonesia hanya berjalan secara prosedural dan rapuh. Demokrasi tidak di barengi dengan tegaknya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yakni kebebasan, persamaan, dan kedaulatan mayoritas. Demokrasi menjadi instrumen abstrak yang oleh kalangan elite telah dilupakan dan malah terkadang di pakai hanya sebagai komoditas bagi target pencapaian kepentingan mereka. Dengan dalih demokrasi, elite penguasa menetapkan sistem yang menyulitkan bagi perkembangannya demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil melalui hukum negara. Tak heran kita dengan diskriminasi yang terlihat pascapenetapan beberapa produk perundang-undangan mulai dari Perpres 36 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sampai pada belakangan ini terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah dimana regulasi tersebut banyak kalangan menilai kontra-demokrasi.

Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Karena itu, mungkin saja mengenali dasar-dasar pemerintahan konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni hak asasi dan persamaan di depan hukum yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk bisa secara pantas disebut demokratis.
Persoalan kekerasan yang acapkali muncul mulai dari inkonstitusionalis pemerintah, dan lemahnya penegakan hukum (rule of law) di segala sendi kehidupan. Banyaknya kasus korupsi yang terungkap, menandakan lemahnya penegakan di masa lampau, dan justru saat ini banyak kalangan yang menilai pemberantasan korupsi hanya tebang pilih.

Menengok kebali istilah demokrasi menurut asal kata "rakyat berkuasa" atau goverment as rule by the people, kata yunani demos berarti rakyat, kratos/ kratien berarti kekuasaan/ berkuasa mengingatkan kita pada slogan superior mantan presiden Amerika Abraham Lincoln bahwa demokrasi for people, by people, and to people. Namun memang disadari bahwa sistem demokrasi yang terdapat di negara-kota city state Yunani Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M merupakan demokrasi langsung, direct democracy yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak sesuai dengan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas negara terdiri kota dan daerah sekitarnya serta jumlah penduduknya sedikit 300.000 penduduk dalam satu negara-kota. Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas terdiri dari dari budak belian dan pedagang asingh tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative demokcracy).

Saat ini demokrasi terintrodusir ke dalam sistem negara, dengan juta-an manusia, luasnya sumber daya, dan beragamnya kepentingan. Akankah demokrasi menaui kesuksesannya pada zaman aristokrat bercengkerama dengan idea dan kehidupan kenegaraannya ribuan tahun silam? Lalu, bagaimana kadar dan ukuran demokrasi sebenarnya?. Dan tentunya masih banyak lagi ratusan bahkan ribuan pertanyaan ditujukan pada nasib demokrasi tanah air ini kedepan.



Belajar dari Mountiesque

Kasus KPK Vs DPR RI mengingatkan kita pada sengketa lembaga Negara yang dulu pernah terjadi saat KPK berseteru dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum dan lembaga Negara yang lain. Kompleksitas muncul tatkala kita mendiskursuskan konflik lembaga Negara tersebut dari berbagai kacamata hukum, politik, social dan lain sebagainya. Namun sebuah pikiran sederhana bahwa konflik lembaga tak akan pernah terjadi bila lembaga ini memang sadar akan peran dan tugasnya berdasarkan prinsip pembagian kekuasaan Negara.

Mountiesque mengkonstatasikan legislatif, yudikatif, dan eksekutif terbagi untuk menjalankan roda kekuasaan Negara. Gagasan dasar ini mengingatkan penting sebuah harmonisasi negara dan sinergisitas kearah cita bangsa yang bersangkutan. Pembagian ini dilakukan untuk memudahkan pencapaian tujuan ideal suatu bangsa, sebagaimana halnya bila bangsa Indonesia cita tersebut termaktup dalam pembukaan Konstitusi Dasar Negara.

Pembagian kekuasaan ini bukan dibuat untuk kemudian berselisih antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Namun pembagian kekuasaan ini semata-mata untuk menciptakan system yang dapat dengan mudah, cepat, dan tepat menwujudkan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Check and balances hanya diperuntukkan bagi pembentukan budaya pemerintah yang baik (good government) dan kuatnya masyarakat sipil (the civil society). Hakekat utamanya pada pewujudan cita bangsa yang ideal.

Sialnya, pemikiran Mountiesque hanya berlaku bagi lembaga negara yang sadar, cerdas, dan sehat. Pembagian kekuasaan berjalan baik dengan dukungan lembaga berikut aparatnya yang professional, proporsional dan jujur. Wacana pembubaran KPK oleh sejumlah oknum DPRD atas aras bahwa lembaga Negara watch dog tersebut sudah super body tidak patut di laksanakan di kehidupan masa transisi demokrasi seperti sekarang ini.


Belajar dari Tocqueville

Democracy in America sebuah buku yang di tulis Alexis de Tocqueville aristocrat sekaligus sosiolog Prancis, telah memberikan banyak pelajaran tentang demokrasi dari tinjauan filosofis hingga ke elemen teknis. Pada dasarnya Tocqueville sama halnya dengan penulis kenamaan lainnya seperti Kant, Hegel, hingga zaman Plato, Scorates, dan Aristotelis, yakni prinsip mayoritas yang diutamakan. Namun keunikan tulisan Tocqueville terletak pada komprehensifitas dan objektifitas pandangan terhadap demokrasi di Amerika. Bila di bandingkan, minimal terdapat sekian perbedaan antara tradisi demokrasi Amerika dan Indonesia. Pertama, kemandulan legislative, lembaga ini hanya menjalankan tugas balita yang mudah bisa dilakukan dengan sumber daya dan watak manapun. Bukti kemandulan interpelasi dan angket merupakan fakta outentik bahwa lembaga ini gagal menjalankan fungsi control dan pengawasannya. Bahwa saduran habis system ketatanegaraan amerika yang di tandai dengan Kongres di Amerika sendiri mempunyai 2 lembaga yang jika mereka bertemu dalam suatu tugas dan wewenang tertentu disebut Kongres. Kongres terdiri atas 2 lembaga yaitu House of Representative dan Senate. Sama halnya manakala Indonesia memiliki MPR RI berikut DPR RI dan DPD RI-nya. Namun legislative Amerika konsisten menjalankan fungsinya, yakni Passes federal laws. (Menyetujui Undang-Undang federal). Passes federal budget, levies taxes and funds executive functions (Menyetujui anggaran federal, pajak dan fungsi keuangan eksekutif. Establishes lower federal courts, judicial positions (untuk membuat peradilan rendah federal, menentukan posisinya. Approves treaties and federal appointments (menyetujui perjanjian internasional dan pengangkatan pejabat federal. Declares war (menyatakan perang).

Kedua, Reformasi system peradilan diperlukan mengingat system peradilan Indonesia yang banyak menganut system eropa continental yang ortodoks ketimbang anglo saxon yang masih menempatkan mayoritas –juri- sebagai pengambli keputusan siding. Pendeknya, demokrasi tak hanya di tegakkan di dalam kehidupan social politik, namun juga lebih pada kehidupan hukum negaranya.

Ketiga, Kebebasan pers harus semakin luas. Kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya. Di Indonesia kebebasan pers baru saja muncul 10 (sepuluh) tahun terakhir ini. Belum genap dan bulat penuh, kebebasan ini beberapa kali diterpa dengan berbagai kejadian dan peristiwa besar, mulai dari regulasi hukum antipornografi dan antipornaksi sampai pada terakhir terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 yang disinyalir juga memasung kebebasan pers.

Keempat, partai politik yang berfungsi sebagaimana mestinya. Partai Republik dan Partai Liberal melakukan aktivitas politiknya. Partai menjalankan fungsi sosialisasi, recruitmen, dan pendidikan politik di jalankan dengan baik oleh Amerika. Terutama mereka calon pejabat publik yang direkomendasikan oleh partai, benar-benar seorang yang kompeten dan kapabel hasil dari uji validasi oleh partai dan simpatisan melalui pemilihan pendahuluan (primary). Berbeda dengan partai di republic kita yang di sana-sini sibuk dengan kepentingan praktisnya bahkan acapkali masih terdengar praktek dagang sapi.

Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

JL. Menoreh Utara No. 17 RT 8/ RW 1 Sampangan Semarang. Mobile 081575783855. email dewa_orga@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: