Kamis, 24 Juli 2008

Korupsi dan Kemacetan Negara

Strategi progresif untuk perangi korupsi nampaknya telah benyak mengalami kemajuan di seluruh Nusantara. Tak ketinggalan Jawa Tengah dua kasus yang telah diputuskan atas nama terdakwa Hendy Boedoro Bupati Kendal dan Bambang Guritno Bupati Semarang. Tak menutup kemungkinan koruptor kerah putih ini bertambah. Benarkah hal ini akan menciptakan kemacetan Negara ?.


Maraknya pejabat Negara yang terperangkap skandal korupsi di sisi lain bisa menyebabkan kemacetan Negara. Solusi otomatis, bagi institusi yang terjangkit koruptor,urusan pemerintahan bisa dilimpahkan ke wakil pemerintahan. Seperti halnya, perkara korupsi Hendy Boedoro Bupati Kendal yang diputuskan oleh Mahkamah Agung memvonis tujuh tahun dan Bambang Guritno Bupati Semarang oleh Pengadilan Negeri Semarang dihukum dua tahun (Kompas/ 21/07). Sementara ini, kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh mereka bisa terisi oleh wakilnya.

Namun dari hal inilah, ada persoalan terkait dengan kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Siapa yang paling layak menggantikan kepala daerah jika kepala daerah sementara ini berhalangan?. Ataupun bila pelaku koruptor sebagai pejabat di lingkungan struktural dan fungsional pemerintahan. Kekosongan jabatan akan menyisakan pelayanan publik yang terbengkalai dan harus menunggu lama proses penggantian atau penunjukkan pejabat sementara.

Sulit memang bila korupsi yang telah merasuk jauh ke dalam sistem, pada akhirnya akan membuat banyak orang yang terlibat, menjadikannya sebagai kejahatan ini sesuatu yang biasa. Seolah-olah kejahatan itu menciptakan hak. Dan, kalau satu dituntut, lalu semua harus ikut bertanggung jawab.

Praktek ini layim kita lihat, bahwa tertangkap tangannya satu pelaku korupsi, nantinya akan mengakibatkan penyeretan pelaku-pelaku yang diyakini sebagai sindikat yang terlibat dalam pengadaan tindak kejahatan tersebut. Karenanya, korupsi dianggap sebagai kebiasaan (habitus), maka di dalam benak pelaku korupsi hanya ada pretensi bahwa semua institusi korup, semua pejabat doyan suap, dan semua elemen bermain dalam menyuburkan kejahatan terorganisir ini.

Alih-alih pemberantasan korupsi tebang pilih mengingatkan kita bahwa upaya ini semacam skenario politik. Arah pemberantasan korupsi mudah ditebak, menimpa pejabat korup yang kurang memiliki kekuatan dan pengaruh. Pejabat-pejabat yang dominan terlihat kebal oleh hukum.

Seandainya pejabat yang terakhir ini ketahuan korupsi, besar kemungkinan lepas dari jerat hukum, atau untuk mengobati kemarahan publik, hanya di hukum ringan. Haryatmoko (2008) mengatakan hal ini “bisa”, karena aparat hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberikan alibi, melemahkan bukti hukum, mementahkan keterangan saksi yang memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.

Apatisme atas pemberantasan korupsi sebagaimana persoalan di atas ada baiknya di ikuti dengan perbaikan citra lembaga Negara di mata publik. Laju percepatan pemberantasan korupsi hendaknya tidak melupakan “pelayanan publik” yang diberikan Negara kepada masyarakat. Tapi demikian bukannya pemberantasan korupsi ditinggalkan. Hanya saja pemerantasan korupsi dibarengi dengan optimalisasi pelayanan publik yang tak boleh terlupakan. Sehingga kewibawaan dan citra Negara bisa kembali bersemai.

Dengan upaya progresif yang dilakukan secara cepat dan tegas oleh pemangku kebijakan, mengisikan pejabat-pejabat yang jujur untuk mengantisipasi kekosongan jabatan yang ditimbulkan oleh pejabat korup. Sehingga kemacetan penyelenggaraan pemerintahan tak akan mungkin terjadi, dan akhirnya pelayanan kepada masyarakat bisa berjalan sebagaimana mestinya.


Menjadi Komoditas

Korupsi telah menjadi satu kebiasaan. Kebiasaan akan membungkam rasa bersalah, sehingga pelaku korupsi cukup menikmati hasil dari kejahatannya dengan perasaan yang biasa dan wajar. Dalam banyak kasus, proses hukum untuk mengungkapkan pelaku korupsi justru berbalik menjadi sarana rehabilitasi dan pembersihan nama. Semua prosedur hukum yang dianggap adil memang sudah ditempuh, tapi hasilnya jauh dari rasa keadilan. Korupsi tetap saja tumbuh subur di seluruh bidang, mengakibatkan sikap dan perbuatan korup menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi adalah kebiasaan.

Anthony Giddens (1993), dalam bukunya New Rules of Sosiological Method mengkonstatasikan bahwa kebiasaan akan menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan individu-individu untuk bertindak. Dalam kerangka ini, bisa dilihat sebuah skema bahwa kebiasaan korupsi membentuk sebuah pola.

Pola korupsi antara lain, sebagai komoditas yang tidak hanya dimiliki oleh pejabat saja, namun juga oleh elemen-elemen masyarakat. Korupsi dipergunakan sebuah isu dan wacana yang dapat dibuat sebagai mata pencaharian. Isu dan wacana korupsi menjadi black campaign bagi pejabat yang saling beradu kekuatan untuk memperebutkan jabatan strategis tertentu.

Isu dan wacana korupsi juga bisa dipergunakan oknum lembaga non pemerintahan untuk memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang/ barang, atau bentuk lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Menyelami phenomologi ramainya lembaga non pemerintah baru-baru ini yang bergerak di bidang korupsi merupakan hal yang menarik tersendiri. Pada umumnya, kelompok penekan ini banyak bergerak di ranah pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan. Namun eksistensinya memiliki relasi dengan pelaku pengadaan barang dan jasa, serta hampir bisa dikatakan bahwa langkah-langkahnya bisa dipetakan menguntungkan kepentingan tertentu.

Stigmatisasi terhadap lembaga non pemerintahan yang bergerak di seputar isu korupsi ini memang muncul karena banyaknya afiliasi, kedekatan dan tujuan praktis. Sehingga menjadi penghambat bagi penyelenggaraan Negara khususnya pengadaan barang dan jasa yang profesional, fair, dan tranparan.

Sudah selayaknya reorientasi bagi kelompok penekan semacam ini perlu dilakukan. Walaupun sebenarnya masih banyak lembaga yang setia menjaga reputasi dan kredibilitasnya dan tak terjebak di lingkup manfaat praktis, meski jumlahnya sedikit.


Awaludin Marwan, SH

Alumni Fakultas Hukum UNNES

Tidak ada komentar: