Selain kontroversi persoalan pengaturan pers di dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, ternyata sejumlah kalangan juga menilai banyak kelemahan-kelemahan lain di dalam regulasi tersebut. Diantaranya sistem pemilihan yang masih rapuh, netralitas Aparat Pemerintahan yang masih dipertanyakan, pencekalan riset dan jejak pendapat dan lain sebagainya. Kelemahan ini menandai krisis langkanya niat baik (good will) perilaku elite dalam mendorong kehidupan demokratis yang lebih baik.
Naluri perebutan kekuasaan untuk kepentingan kelompok mengarahkan pada suasana oligarkhis yang kental ketimbang rasa keperpihakkan pada kepentingan khalayak rakyat. Arah perubahan politik melalui regulasi menjadi pilihan instan untuk meluapkan syahwat kekuasaan dan kepentingan elite ini.
Syahwat elite inilah yang berindikasi memberangus kebebasan pers melalui regulasi pemilu legislatif kali ini. Perbuatan ini sungguh sebuah upaya yang kontrademokrasi. Belajar Demokrasi dari Amerika melalui buah pemikiran dalam buku Democracy in America yang di tulis Alexis de Tocqueville aristokrat sekaligus sosiolog Prancis, menjelaskan bahwa kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya bahkan dilindungi.
UU No. 10 Tahun 2008 mengpupuskan harapan pers yang bebas untuk menginformasikan, memberitakan dan justru membonsai fungsi pers sebagai sarana komunikasi politik rakyat. Kententuan bagian keenam tentang pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye UU No. 10 Tahun 2008 menyimpan sederatan pasal yang menjadi embrio persoalan dari perbedatan ini. Pasal 89 ayat 5 yang melarang penyiaran kampanye di masa tenang, pasal 90 dan 91 yang mewajibkan berlaku adil dan berimbang, pasal 92 yang mengatur terlalu rijit bentuk siaran monolog dan dialog kampanye, pasal 93 dapat mengganggu kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa, Pasal 94 melarang media menjual blocking segment atau blocking time, hingga pada penjatuhan sanksi oleh pasal 99 berupa : teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.
Sanksi untuk media hingga pada pembekuan dan pencabutan izin, mengingatkan kita pada modus operandi penguasa lama memberlakukan kalangan pers secara tidak adil. Kebasan pers terpasung, tinggal ketakutan dan kegelisahan saja yang melanda saat insan pers untuk berkreativitas dan berekspresi dalam pentas demokrasi –pemilu 2008- mendatang.
Kembali kepada kententuan regulasi pemilu untuk pers, dua hal yang cukup subtansial patut direnungkan kembali. Pertama, pengaturan tersebut dari konteks “ada” masih menuai banyak argument. Sebagian kalangan menilai bahwa peraturan tersebut tak harus ada, bahkan jangan sampai ada. Alasannya antara lain karena pengaturannya sudah terakomodir di dalam UU Pers.
Namun sisa pendapat yang lain menegaskan perlu aturan yang konkret untuk memperjelas aturan main (rule of the game) pemilu mendatang. Alasan kedua tidaklah masih akal, mengakibatkan tumpang tindihnya aturan hukum, sehingga tidak adanya kepastian hukum. Kedua, kerawanan berlanjut dengan ragamnya hemenuetika yang akan berkembang, banyaknya penafsiran bisa saja kententuan tersebut jauh dari tujuan awal bahkan dapat di salah gunakan. Implikasinya, masyarakat pers dapat menjadi sasaran empuk bagi mafia politik yang ingin merengut kebebasannya dengan pasal-pasal karet tersebut.
Netralitas Aparat
Terselenggaranya asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government) hanya menjadi impian saja saat ini. Pasalnya, semenjak terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 praktek penyalahgunaan jabatan publik terbuka bagi kampanye yang melibatkan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, dan Wakil Walikota. Dengan persyaratan “cuti”, penjabat publik dapat berpartisipasi dalam kampanye, dukung-mendukung peserta pemilu. Kententuan ini membuka peluang bagi penyalah gunaan fasilitas, pengaruh, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan guna kepentingan kampanye.
Sebagai penjabat publik, selayaknya posisi netral patut diambil dalam hal ini untuk menjaga kondusifitas iklim politik dan menciptakan keadilan bagi semua peserta pemilu. Kententuan ini mengisyaratkan bahwa elite pembentuk perundang-undangan tersebut memiliki tabiat agar perebutan dan mempertahankan kekuasaan dengan mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan kepala daerah kadernya dan memberi sinyal kepada kadernya tersebut untuk menanggalkan tugas-tugas pemerintahannya demi kepentingan partai/ peserta pemilu.
Kententuan ini juga menandai bahwa ambisi partai yang dulu berkuasa ingin mempertahankan kekuasaannya dengan bertaruh pada pemilihan kepala daerah secara langsung. Karena logikanya partai yang berkuasalah yang memiliki stok kader di jabatan kepala daerah, karena kendaraan pencalonan kepala daerah kebanyakkan dimiliki oleh partai-partai besar.
Regulasi ini menghambat pembangunan pewujudan pemerintahan yang baik (good government). Salah satu indikator pemerintahan yang baik (good government) berdasarkan fatwa , United Nation Development Program (UNDP: 2003) mengharuskan adanya persamaan (equality), dengan demikian penjabat pemerintahan berikut jajarannya dalam konteks pemilu harusnya wajib memberlakukan peserta pemilu dengan adil, berimbang, dan sama. Persamaan (equality) sangat sulit diwujudkan tatkala penjabat pemerintahan kemudian ikut sebagai elemen atau agen pemenangan salah satu / kelompok peserta pemilu, maka tidak akan pernah mungkin mereka dapat berlaku adil terhadap semua kontenstan yang lain.
Kembali ke Masa Kegelapan
Perlu kembali ditelaah persoalan yang berkaitan dengan kententuan yang mengatur survei, jejak pendapat dan perhitungan cepat (quick count) di dalam regulasi pemilu legislatif. Salah satu bentuk pengaturan, pelarangan, bahkan ancaman pemidanaan (kriminalisasi) jelas akan memasung cendiawan dan ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pengabdiannya terhadap kehidupan politik. Kita teringat kembali dengan zaman kegelapan di mana ilmu pengetahuan di tekan dan ilmuwan dikerdilkan hasil buah pikirannya dengan simbol kekuasaan absolute.
Masih teringatkah kita dengan Galilea Galileo yang di hukum gantung karena mempertahankan kebenaran bahwa bumi itu bulat. Namun pada akhirnya di ketahui kenyataannya bahwa pemikiran Galileo tersebut benar adanya. Kekuasaan absolute memberanguskan kebenaran pemikiran bahkan menghilangkan intelektual-inteletual seperti Galileo untuk terus beraktualisasi dengan alam pikirannya melalui tindakan yang tidak manusiawi.
Begitu halnya dengan pengaturan dan pelarangan sebagaimana yang disebutkan dalam kententuan regulasi pemilu legislatif ini. Para inteletual sebelum menjalankan mandat sosial karena pemikiran dan pengetahuan yang dimilikinya, lantas terbayang-bayangi oleh kententuan yang menghambat pengembangan pemikiran dan aktivitasnya tersebut. Bahkan kententuan pidana layimnya membuat kepanikkan dan kegelisahan yang menyumbat kreatifitas para inteletual bangsa ini.
Melihat berbagai ulasan diatas, sebuah resolusi lahir dengan upaya yang salah satunya berada di jalur hukum dengan judicial review untuk merevisi regulasi tersebut sebelum berbagai kententuan di dalamnya dilaksanakan pada pentas demokrasi mendatang. Revisi ditujukan pada penghapusan pengaturan terhadap pers dan survei, jejak pendapat, perhitungan cepat (quick count). Revisi juga diperlukan bagi pembaharuan sistem pemilihan yang prokepentingan rakyat dan kententuan yang menciptakan netralitas aparat pemerintahan.
Awaludin Marwan, SH
Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar