Kamis, 24 Juli 2008

KRITIK INKONSTITUSIONALITAS PEMILU

Vonis gelar pengadilan Mahkamah Konstitusi tentang penegasan implementasi electoral threshold terkesan seperti dagelan politik saja. Vonis itu hanya menjadi pelajaran bagi pemangku produk perundang-undangan. Tidak berihtikad membenahi sistem regulasi hukum pemilu. Kewibawaan Mahkamah Konstitusi perlu ditinjau ulang.



Ketimpangan menampakkan batang hidungnya, dengan fatwa yang dikemukakan dalam jumpa pers Ketua Mahkamah Konstitusi yang didampingi Ketua Komisi Pemilihan Umum. Pasalnya, jumpa pers ini seperti ingin menyampaikan bahwa ada islah antara Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Pemilihan Umum. Di luar putusan peradilan, Ketua Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa putusan hanya berlaku untuk waktu mendatang, tidak berlaku saat ini.

Fatwa yang dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi terlihat ada semacam keganjilan. Pertama, fatwa tersebut mengakhiri dialektika tentang status legitimasi Pemilu saat ini. Sementara, berlakunya keputusan untuk masa mendatang, dapat dipastikan tidak akan bisa terlaksana. Karena setiap kali pemilu, regulasi hukumnya selalu direvisi dengan yang baru. Maka sia-sia saja keputusan ini diterbitkan.

Kedua, fatwa hukum yang disampaikan ke publik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi tidak tepat. Sebab, secara subtansial Contitutional Court tidak sampai berfungsi mengeluarkan fatwa hukum. Seperti halnya di Republik Cheko, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki “preventive norm control”dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa hukum (advisory opinions).

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi hanya memiliki kewenangan dapat menetapkan bahwa suatu kententuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan sebagian ataupun seluruh peraturan itu. Kewenangan selanjutnya diserahkan kepada pihak-pihak yang terkait. Singkatnya, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutuskan perkara saja, tidak lebih.


Vonis Perkara

Pasal 316 huruf d yang menjadi fokus dari permasalahan, dianggap sebagai kententuan diskriminatif, petanda kemunduran demokrasi dan tidak sesuai dengan prinsip Negara hukum (rechtstaat). Dari ketentuan Pasal 316 huruf d ini, partai peserta Pemilihan Umum 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, namun mempunyai kursi di DPR tidak mempunyai kewajiban mengikuti verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum, sementara partai lainnya tidak demikian. Kententuan ini memberikan keistimewaan kepada partai politik peserta Pemilu 2004 yang mempunyai kursi di DPR.

Secara keseluruhan perolehan suara pemilu legislative 2004 dapat di ilustrasikan sebagai berikut: PNI Marhaenisme 923.159 (0,81%); Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 (0,56%); Partai Bulan Bintang 2.970.487 (2,62%); Partai Merdeka 842.541 (0,74%); Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 (8,15%); Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 (1,16%); Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 (0,59%); Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 (1,08%); Partai Demokrat 8.455.225 (7,45%); Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia 1.424.240 (1,26%); Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 (0,75%); Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610 (0,79%); Partai Amanat Nasional 7.303.324 (6,44%); Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 (2,11%); Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 (10,57%); Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 (7,34%); Partai Bintang Reformasi 2.764.998 (2,44%); Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 (18,53%); Partai Damai Sejahtera 2.414.254 (2,13%); Partai Golongan Karya 24.480.757 (21,58%); Partai Patriot Pancasila 1.073.139 (0,95%); Partai Sarikat Indonesia 679.296 (0,60%); Partai Persatuan Daerah 657.916 (0,58%); Dan Partai Pelopor 878.932 (0,77%).

Berdasarkan data diatas, maka seharusnya hanya terdapat 7 Partai yang lolos dari electoral threshold. Namun karena biang keladi pasal 316 huruf d ini, membuat persoalan bertambah runyam dengan tambahan menjadi 17 partai yang lolos tanpa adanya verifikasi KPU atau Departemen Hukum dan HAM.

Secercah harapan baru berkehidupan hukum dan politik lahir dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008. Sayangnya, keputusan tersebut tidak berdaya dan mengalami kebuntuan. Persoalan ini bisa dipandang sebagai ketidak-seriusan Mahkamah Konstiusi menyidangkan perkara tersebut.

Sebenarnya perkara ini sudah terdaftar semenjak 30 April 2008 lalu. Namun baru 10 Juli 2008 diputuskan dari gelar sidang Mahkamah Konstitusi. Keputusan tersebut terbit setelah KPU menyelesaikan verifikasi Partai.

Hal ini berberda jauh dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 April 2004 terhadap permohonan pengujian Pasal 6 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang sangat cepat. Registrasi Perkara Konsitusi tanggal 19 April 2004, namun tanggal 22 April 2004 Majelis Hakim sudah menjatuhkan vonis.

Melihat dilema diatas, ada baiknya Mahkamah Konsitusi melakukan refleksifitas institusi. Sehingga efektivitas keputusan semakin meningkat dan kewibawaan lembaga kehakiman tersebut bisa terjaga.


Kemajuan Berdemokrasi

Satu sisi positif pelajaran yang dapat diambil dari Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah tumbuh kembangnya kesadaran berkonstitusi oleh komponen political society kita. Prinsip supreme of constitution dan rule of law nampaknya mulai memandu mereka dalam pencarian penyelesaian politik. Di tempuhnya lajur ini oleh peserta pemilu, memberi angin segar untuk menggapai cita-cita the living constitution di republik ini.

Komponen yang mewakili political society dalam perkara ini adalah : Partai Persatuan Daerah (PPD); Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB); Partai Bintang Reformasi (PBR); Partai Damai Sejahtera (PDS); Partai Bulan Bintang (PBB); Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI); Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK); Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); Partai Pelopor (PP); Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI); Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD); Partai Serikat Indonesia (PSI);dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konsitusi.

Semoga kehidupan berhukum kita yang terejawantahkan dengan pola penyelesaian politik lebih etis, mengedepankan perbincangan rasional, dan penegakan hukum (law enforcement). Tidak akan ada lagi pola penyelesaian politik dengan kekerasan. Bangunan demokrasi bisa menjadi lebih baik dan manusiawi.


Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

Tidak ada komentar: