Jumat, 03 April 2009

Mendekontruksi Citra PNS


Hari-hari ini banyak orang disibukkan oleh tes penerimaan PNS. Mereka berkeinginan hidup di atas biaya Negara. Kalau semua orang ingin hidup di atas tanggungan biaya Negara, siapa yang akan membiayai Negara ? Pergeseran orientasi dalam pelamaran kerja PNS sangat besar, dulu menjadi aparat adalah murni pengabdian, kini dorongan kebutuhan ekonomi menggantikannya. Banyak orang menginginkan kemapanan. Bahkan, selera massa menyebutkan bahwa manusia menjadi ”orang” ketika dia telah dinobatkan sebagai PNS.
Selera massa inilah yang membahayakan posisi negara yang pada saat bersamaan menguntungkan pemangku kepetingan status quo. Bahaya yang akan di hadapi oleh Negara lebih berupa kesenjangan ekonomi. Anggaran pendapatan negara sebagian besar berasal dari sektor pajak. Dari pajak ini kemudian dipakai untuk menggaji aparat dan pembangunan fisik. Kalau semua ingin mendapat gaji dari pajak, lalu siapa yang akan membayar pajak?.
Pajak berupa PPH ataupun PPN yang diperuntukkan bagi PNS tentunya tidak cukup mengembalikan biaya masuk ke anggaran pendapatan Negara. Pengangguran lebih di identikkan seseorang menunggu peluang masuk PNS tanpa harus berbuat apa-apa. Pengangguran semacam ini tak menguntungkan sama sekali bagi Negara. Pajak yang kebanyakan diperoleh dari sektor swasta (private sector) tidak banyak di minati oleh para penganggur.
Matinya kreatifitas manusia Indonesia karena tak punya nyali di bidang swasta yang penuh resiko dan tantangan, dipengaruhi oleh keberadaan sistem gaji pegawai. Dengan menjadi pegawai orang yang pintar sekalipun tak harus memeras otak dan keringatnya untuk menangani sebuah persoalan di pemerintahan, toh masih mendapatkan gaji.
Struktur yang gemuk dan miskin fungsi membuat biasnya tanggung jawab aparat akan tugas-tugas pemerintahan. Seolah-olah dengan nyantai –bermain video game, ngobrol, atau membaca koran seperti yang terjadi di kantor pemerintahan– persoalan akan selesai. Sebab persoalan terlalu banyak yang menanggung. Bukan kualitas yang diutamakan melainkan kuantitas.
Berikutnya, penerimaan PNS pada akhirnya akan memperbesar keuntungan yang diperoleh para pemangku kepetingan status quo. Jika banyak orang terlebur dalam suprastruktur pemerintahan, maka fungsi pengawasan masyarakat akan meredup. Check and balances menjadi tak seimbang, hilanganya social control dari masyarakat akan membuat pemerintah berbuat sewenang-wenang. Menjadi Diri Sendiri Banyak orang menginginkan posisi PNS sebagian besar merupakan postulat (tuntutan) selera massa. Pandangan objektif yang memiliki kemungkinan ”keliru” dan ”salah”. Konstruksi pandangan objektif ini tentunya tidak lahir begitu saja, melainkan tetap dimainkan dan dihegemoni oleh unsur penguasa status quo yang membuatnya.
Di era modern seperti sekarang ini, orang sulit menentukan pilihan arah hidupnya sendiri di tengah-tengah pandangan umum. Orang tak memiliki kebebasan oleh jerat-jerat selera massa yang men-dehumanisasikan manusia. Manusia dilahirkan dalam kondisi yang bebas, namun karena selera massa-lah manusia dituntut untuk mengikutinya, memperoleh label ”kewajaran” dan mendapat citra ”baik”.
Pemikiran Jean-Paul Sartre dapat membantu kita menemukan diri kita sendiri, hidup bebas tanpa tekanan dan paksaan. Sarte dalam karangannya L’Etre et le Neant; essai d’Ontologie Phenomologique, maupun L’Existentialisme est un humanisme, berikutnya Critique de la raison dialectique. Meski karya-karyanya dibilang tidak konsisten dan tak memiliki benang merah antara satu dengan yang lain. Namun di sini kita tidak membahas itu terlalu dalam, kita mengambil manfaat darinya saja.
Dia mengkonstatasikan bahwa individualitas dan autensitas manusia masing-masing tidak boleh diseragamkan berdasarkan selera massa. Orang menentukan sendiri norma-norma dan nilai-nilai hidupnya, yang tidak sekedar mem-bebek pada apa yang di anggap biasa (Franz Magnis: 2000). Di bait yang lain Sarte dengan pengaruh Marx, menganggap manusia kemudian terdeterminasi lingkungan sosial sekitarnya. Tapi determinasi tidak menghilangkan proses yang pertama, penggembaraan nilai sendiri.
Sarte menekankan pentingnya manusia melakukan refleksi diri (berpikir secara mendalam). Menemukan keyakinan dan keteguhan hati sehingga orang tak mudah terbawa arus objekivisme. Yang sudah barang tentu objektivisme yang dimaksud tidak mungkin selamanya baik untuk diri sendiri, melainkan juga terdapat kekeliruan bahkan merugikan diri kita sendiri. Singkatnya, membangun seseorang yang berkarakter. Seseorang yang kuat, bahkan mampu memberikan manfaat akan keberadaannya terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Misalnya, pepatah Jawa yang mengatakan ”luwih apek dadi ndas semut tinimbang buntut gajah”, (lebih baik menjadi kepala semut dari pada ekor gajah). Salah satu alternatif bahan untuk refleksi diri, bagaimana menjadi enterpreneur kecil yang menghasilkan serta banyak bermanfaat bagi orang lain, ketimbang mengikuti jejak orang yang sudah besar, apalagi pemerintah.
Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa PNS bukanlah satu-satunya pekerjaan yang baik. Hanya saja keberadaannya yang dipenuhi dengan citra selera massa. Bahkan kemanfaatan keberadaannya lebih rendah ketimbang pengusaha-pengusaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian Negara. Jadi, bekerjalah sesuai dengan diri sendiri.

Awaludin Marwan, SH Mahasiswa Program Pasca-Sarjana Hukum UNDIP. Direktur LSM DEWA ORGA

Kejahatan Fungsional


Di akhir tahun, biasanya terjadi refleksi hitungan kualitas dan kuantitas kejahatan. Kejahatan mutilasi, penggelapan, perampokan, pemerkosaan dan seterusnya menjadi catatan yang tiada pernah hilang setiap tahun.

Banyaknya kejahatan tidak bisa hanya dipandang semakin banyaknya orang jahat. Ataupun semakin profesionalnya aparat penegak hukum. Melainkan juga perlu dipandang sebagai penilaian berlebih sistem pemidanaan yang individualistik dan perkembangan kejahatan yang semakin kompleks.
Sistem pemidanaan menggunakan sistem individualistik mempengaruhi sikap ketidak pedulian sosial dan tanggung jawab sosial terhadap suatu tindak pidana. Umpanya orang melakukan tindak pidana, bersalah dan di hukum. Meskipun orang tersebut dikenai pidana, namun kejahatan orang tersebut banyak dipengaruhi oleh sistem.
Sistem memberikan kemudahan dan mendorong bagi seseorang melakukan kejahatan. Pengangguran, kemiskinan, dan penindasan sebuah ekses dari kesalahan sistem tidak dirasakan sebagai penyebab terjadinya kejahatan. Orang melakukan kejahatan hanya orang tersebut yang dikenai pidana, padahal bukan cuman orang itu yang bersalah, tapi juga sistemnya.
Hukum di Indonesia tidak mungkin mengadili kejahatan fungsional, Korea berani memidanakan orang tua yang diketahui anaknya melakukan tindak kejahatan. Kejahatan di lihat dalam konteks kolektivisme, bukan individual. Jika penanganan model seperti ini, Negara pun bisa dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dilakukan oleh rakyatnya.
Sistem pemidanaan yang individualistik ini biang dari lunturnya tanggung jawab dan kepedulian sosial. Seolah-olah dalam perkara pidana, urusannya hanya kepentingan korban dan pelaku, bukan urusan umum. Inilah dominasi berlebihan sistem individualisme. Bukannya Francis Fukuyama 1999 dalam The Great Disruption-nya menegaskan kekerasan terbesar di zaman kapitalisme baru adalah individualisme.
Individualisme menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi yang dulu lebih menyenangi kolektivitas, kekeluargaan, dan gotong royong. Dulu kepala adat mau di hukum lantaran warganya yang melakukan kesalahan, sebagai dampak dari kesalahan orang tersebut (pelaku pidana) menjadikannya kesalahan masyarakat adat yang bersangkutan. Di sistem modern, harusnya negaralah yang bertindak sebagai pemimpin adat.
Karena Negaralah yang harusnya memberikan kebaikan akan sistem, sehingga faktor ekonomi yang banyak dipakai sebagai motif kejahatan bisa diminimalisir. Di Negara maju, kejahatan berkurang kuantitasnya, Negara menjamin kesejahteraan ekonomi warga. Namun di Negara berkembang kesenjangan sosial nampaknya memberikan implikasi besar pada perkembangan kejahatan.
Dalam konggres PBB keempat, (Bardanawawi: 2008) diskursus tentang kejahatan yang menghinggapi negara berkembang dinyatakan sebagai berikut : pertama, crime as business, lahan bisnis baru bagi penjahat; seperti halnya cyber crime para maniak kejahatan ini mengekploitasi pembobolan kartu kredit untuk kepentingan ekonomi.
Kedua, tindak pidana yang berhubungan dengan hasil-hasil karya cipta, seni, dan warisan budaya. Ketiga, Narkoba. Keempat, kekerasan antar-personal (interpersonal violence), khususnya remaja. Kelima, kejahatan lalu lintas, imigrasi, terorisme. Dan ke enam, kejahatan yang dilakukan oleh wanita.
Perkembangan kejahatan di Negara berkembang begitu cepat, setajam perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan kebutuhan manusia. Sehingga perlu upaya progresif dalam rangka membendung semakin luasnya kejahatan yang berkembang di masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah revitalisasi kebijakan legislatif tentang penanggulangan kejahatan.
Lagi-lagi, kejahatan harus dihadapkan dengan fungsi-fungsi yang melekat pada institusi Negara. Kebijakan legislatif bak pedang bermata dua. Satu sisi mengarah pada kepastian yang terdistorsi, di sisi lain mengandung ketidak-pastian yang seharusnya hendak memperbaiki keadaan.
Keluarnya banyak produk hukum oleh legislatif yang pada umumnya memuat kententuan pidana khusus, membuat faktor kriminogen. Banyaknya aturan yang mengartur perbuatan pidana membuat semakin banyaknya tindak pidana. Hal ini dapat dibuktikan dengan kriminalisasi suatu perbuatan dalam regulasi baru, sehingga perbuatan yang dulu tidak dipidana sekarang harus dipidana.
Contoh perbuatan menyimpan bahan peledak, dulu tidak banyak mendapatkan perhatian. Kini perbuatan itu masuk dalam kategori tindak pidana terorisme. Ataupun pers dalam UU Pemilu tidak memberikan kesempatan peserta memasang iklan secara adil, maka akan di pidana, padahal sebelumnya tidak demikian.
Kembali ke kebijakan legislatif, kalau merumuskan regulasi dengan parsial, bukan tidak mungkin hanya menimbulkan semakin banyaknya tindak kejahatan, melainkan juga antara regulasi satu dengan yang lain bisa bertabrakan dan tumpang tindih. Maka perlu upaya mengandung ketidak-pastian yang seharusnya hendak memperbaiki keadaan.
Yakni, keseriusan menyelsesaikan konsep KUHP baru Indonesia. Koodifikasi hukum yang menentukan vonis kejahatan bersumber pada referensi hukum tinggalan kolonialis dan feodalis belanda. Weetboek van Recht (WvS) peninggalan Belanda sudah tak layak lagi berfungsi dalam sistem hukum Indonesia. Kemauan politik (political will) Negara dalam menyelesaikan konsep KUHP baru. Padahal konsep KUHP baru ada pengampunan hakim dan penghargaan media penal (penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan).
Kententuan dalam konsep KUHP baru yang dirumuskan oleh para arsitek hukum Indonesia sendiri harusnya di hargai dan terbukti mampu menjawab perkembanga kejahatan di Negara berkembang. Jadi lahirnya kejahatan bukan terletak pada medan yang terlampau sempit, melainkan luas menyangkut efektivitas fungsi intitusi-institusi Negara.

Awaludin Marwan
Mahasiswa Program Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP. Peneliti di LSM DEWA-ORGA

Artis Terjebak Kejahatan


Artis Terjebak Kejahatan


Kasus artis Marcella dan Ananda Nicola mengingatkan kita pada tidak hanya kemiskinan dan keterbelakangan sebagai faktor seseorang tertimpa perkara kejahatan. Memang kemiskinan dan keterbelakangan potensi menyulut seseorang berbuat jahat, tapi orang kalangan menengah keatas pun tak luput dari watak jahat akibat ketidak-matangan mental dan ketidak-seimbangan jiwa.


Teori kriminologi klasik menyebut bahwa kemiskinan dan keterbelakangan merupakan faktor dominan dalam memproduksi perilaku jahat. Demikian, orang miskin selalu dekat dengan perbuatan jahat. Namun, teori tersebut kandas di tengah jalan lantaran, kini, perbuatan jahat tak memandang garis batas usia, kekayaan, gender dan lain sebagainya. Manusia terlahir dengan kejahatannya sendiri.

Meski dalam konteks praduga tak bersalah, Marcella dan Ananda Nicolla, jika terbukti, sebagai tanda mewakili masyarakat papan atas yang tak bisa menghindar dari watak dan kepribadian jahat. Watak jahat tak bisa ditanggalkan dari personalitas pribadi manusia yang bersangkutan.

Dari sudut psikologis, perbuatan jahat, mungkin tidaklah hasil niat atau tujuan secara sadar ditentukan, melainkan manifestasi yang terlihat dari permukaan dari pada gangguan psikis yang berat. Suatu indikator untuk menjaga keseimbangan konflik-konflik batin tidak bekerja, sehingga gangguan kepribadian tersebut diluapkan dalam realitas oleh temperamen dan disharmonisnya struktur kepribadian.

Bukannya Sigmund Freud pemopuler psikoanalisis dalam The Psychopatology of Everyday Life (1904) menyatakan bahwa setiap manusia ”sakit mental” dengan takaran tertentu. Hingga suatu saat, kondisi tegang dan stress menyingkap suatu takaran yang lebih tinggi ketimbang kondisi biasa.

Sakit mental, ketidak-seimbangan jiwa, ketidak-matangan mental, disharmonisnya struktur kepribadian dan seterusnya itu merupakan beberapa faktor yang memicu orang berbuat jahat. Sehingga dengan demikian, perbuatan jahat tersebut tidaklah melekat pada profesi, kelas sosial, dan status seseorang, melainkan melekat pada diri individu yang bersangkutan. Setiap manusia memiliki potensi jahatnya masing-masing, tinggal bagaimana dia mengendalikan dirinya.

Virus Keartisan

Keistimewaan kasus artis bukan hanya sekadar mendapatkan prioritas oleh struktur penegak hukum, proses hukum bisa dipercepat dan dipermudah, bukan juga diperkuat pengacara kondang yang pengen ikut nampang, melainkan juga mendapat perhatian masyarakat secara luas. Sehingga perlu bagi si-artis harusnya belajar untuk menjadi public figure yang baik, tokoh panutan bukan sekedar gaya dan fashion-nya, tetapi perbuatan baiknya.

Dilema menjadi artis haruslah mempersiapkan diri baginya untuk selalu berbuat baik. Sebagai tokoh yang banyak di lihat, pengendalian diri adalah suatu kata kunci yang menjadi satu antara tanggung jawab sosial dan pertahanan karier. Sebab selain kariernya bisa meningkat dan bertahan, dikarenakan banyak pemirsa, rekan, dan produsernya yang menyukainya, merasa dia seseorang yang baik dan dapat dipercaya, dia juga memeri stimulalasi sosial yang baik bagi masyarakat.

Pengaruh artis pada masyarakat yang cukup signifikan memberikan stimulan sosial yang juga membentuk kepribadian kolektif masyarakat. B. F. Skinner (1938) menyebutnya ini dengan teori belajar, dengan menggunakan media, orang-orang melakukan imititasi, menjadikan sebuah aktivitas, mendapat penguatan dan diperkuat dari orang yang di idolakannya. Orang-orang yang di idolakannya bisa juga artis.

Artis sebagai sumber belajar masyarakat hendaknya memiliki tauladan yang baik. Dengan kata lain, kepribadian baik masyarakat bisa di maknai sebagai proses belajar dari pribadi artis yang baik pula. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, pengaruh besar artis, di dunia politik, hiburan, dan ekonomi hendaknya disumbangkan sebesar mungkin guna membentuk kepribadian masyarakat yang baik pula.

Pembangunan mental dan moral masyarakat yang baik salah satunya menjadi tugas yang dilekatkan pada artis kita. Sehingga sang-artis sadar jikalau hendak berbuat sesuatu, tindakannya tidak hanya berimplikasi pada dirinya semata, tetapi juga disaksikan oleh masyarakat yang lebih luas. Banyak di antara artis-artis kita memiliki catatan kriminal dan amoralis. Namun dari catatan tersebut seolah-olah rasa bersalah dan tanggung jawab sosial tak juga muncul.

Pengulangan aktivitas serupa acapkali kita saksikan, namun kita tetap mempertahankan sebuah konsep bahwa kejahatan yang dilakukan oleh artis lebih besar dampaknya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat biasa. Sehingga jika orang hendak menjadi artis atau sudah tenar keartisannya, berarti orang tersebut harus menyiapkan diri untuk menjadi orang baik.


Awaludin Marwan, SH

Mahasiswa Program Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP, Peneliti di Komunitas Embun Pagi


Golput Masuk Neraka ?



Fatwa MUI menegaskan golput haram terlalu berlebih-lebihan. Sikap yang wajar dalam demokrasi di dekonstruksi menjadi perbuatan yang berhubungan dengan dosa.

Negara sudah kehabisan akal untuk memaksa warganya memberikan legitimasi politik pada kekuasaan yang di milikinya. Warga yang sudah muak dan apatis terhadap politik hendak mencari jalan keluar dengan caranya sendiri. Alienasi (pengasingan diri) warga terhadap kehidupan politik mestinya disikapi secara reflektif, bukan paksaan seperti sekarang ini.
Rakyat yang sudah jenuh dengan kehidupan politik, obral janji dan pesta fitnah di kalangan politisi, semakin bertambah tekanan. Secara psikis, rakyat yang sudah menemukan ruang alienasinya, kembali dipaksa untuk menjalani rutinitas yang diengganinya demi ketaatannya pada ulama. Sebab keterkaitan sikap politik pada hubungan surga dan neraka, jika golput haram, dan warga melakukannya maka dia berdosa dan neraka adalah tempat baginya.
Padahal golput adalah sebuah sikap yang bukan tanpa alasan. Keadaan politik yang carut-marut, korupsi merajalela, skandal politisi semakin varian dan masih banyak lagi, merupakan serangkaian alasan yang membangun persepsi rakyat. Persepsi rakyat yang tidak lagi percaya pada wakilnya di Parlemen, kepala daerah, maupun kepresidenan.
Pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004, angka golput (22,06 persen) dibawah partai pemenang pemilu/ PDI-P (23,09 persen). Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 persen) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 persen). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 persen) masih mengalahkan golput (28 persen). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 persen) dikalahkan golput (31,14 persen).
Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 (42,31 persen) dari 26 pilkada kabupaten /kota. Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan dan Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian secara presentasi pilkada yang dimenangkan golput meningkat dari 41,18 daerah (2005), 42,86 persen(2006) menjadi 50 persen(2007). Dari sebelas pilkada itu, rata-rata golput sebesar 36,74 pesen jauh diatas suara bupati/walikota terpilih sebesar 26,10 pesen. Selisih perbandingan itu rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 persen dan bupati/walikota terpiliih 35,12 persen. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub.
Ruang Golput merupakan sarana yang khas mencerminkan apatisme dan kekecewaan warga terhadap pemegang kekuasaan. Jika tanpa mendalami persepsi pemilih, Golput diharamkan, maka sama halnya fatwa MUI lebih memihak pada sikap politik politisi kita dan carut-marutnya kondisi perpolitikan ketimbang kegelisahan kognitif –harapan, keinginan, kebutuhan politik– warga.
Menyandingkan eksistensi fatwa ini dengan kekerasan simbolik (symbolic violence) ungkap Pierre Bourdieu (1990) adalah suatu hal yang serasi. Kekerasan yang tanpa dilihat dan nampak samar-samar, melakukan pemaksaan dan tindakan keras pada umat manusia melalui bahasa dan medium komunikasi, merupakan aktivitas yang kejam.
Golput sebagai tolok ukur tingkat kepuasan masyarakat pada rakyatnya, bukannya demokrasi sejak dari dulu terkenal dengan slogan, dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Maka sudah selayaknyalah rakyat yang memberikan penilaian secara objektif, bukan melalui paksaan. Hasil penilaian objektif inilah yang dipergunakan sebagai standar peningkatan kinerja pemerintahan yang akan datang.
Harga BBM naik berkali-kali lipat dan hanya turun jelang kampanye berlangsung, itu pun hanya sedikit penurunannya. Korupsi semakin marak dengan modus operandi yang semakin canggih. Skandal seks politisi semakin bervariasi sebagai cermin kehidupan glomaur dan amoralis politisi yang buruk. Masak dengan demikian, penguasa menginginkan angka Golput menurun.
Golput adalah cambuk yang menghajar secara halus, pengingat yang lembut bahwa pemerintah atau penguasa haruslah selalu ingat pada rakyat yang di pimpinnya. Kebahagiaan rakyatnya menjadi prioritas, sehingga kebijakannya pun hendaknya juga berpihak pada rakyat. Bukan malah barometer moral-politik berupa Golput ini dilenyapkan dengan pemaksaan nilai yang irasional.
Menciptakan pemimpin itu hukumnya wajib, bukan berarti dari sekian golput tidak ada yang mencoblos. Pastilah ada satu, dua atau tiga pemilih yang mencoblos. Dan pemimpin pun sudah bisa terpilih dari sedikit pemilih tersebut. Bukannya pemimpin itu juga tidak hanya bersifat struktural, melainkan fungsional dan spritual sebagaimana kepemimpinan ulama dan para kyai sepuh. Mereka justru lebih legitimate ketimbang anggota dewan dan presiden sekalipun.
Itu artinya, bahwa kepemimpinan merupakan sebuah hal yang otomatis tercipta dari interaksi antarmanusia sebagai mahluk sosial. Mereka yang lebih unggul, memiliki kapasitas manajemen dan intelektual akan hadir sebagai seseorang membawa sinergisitas dan kemajuan komunitasnya.
Sekali lagi negara tercipta atas dasar kesepakatan, bahkan kita mendeklarasikan diri kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. The Social Contract, Jean Jacques Rousseau (1762) menegaskan bahwa as the citizens, by the social contract, are all equal, all can prescribe what all should do, for giving the body politic life and movement, that the Sovereign, in instituting the government, confers upon the prince.
Prinsip dasar kekuasaan adalah kesepakatan yang tercipta berlandaskan persamaan, kebebasan dan kedaulatan rakyat. Jadi di dalam demokrasi yang benar, sistem pemaksaan sebuah hal yang keliru fatal, segala macam pemaksaan haruslah disingkirkan demi terwujudnya masyarakat politik demokratis.

Awaludin Marwan, Peneliti Sosial, Mahasiswa Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP

Kampanye Model BaruJanji


Janji-janji kosong calon anggota dewan harus di singkirkan. Saatnya bagi masyarakat yang menentukan nasibnya sendiri. Masa pemilu semakin dekat, giliran masyarakat yang harus mengadili dan menentukan politiknya. Model kampanye konvensional harus ditinggalkan, pelaksanaan kampanye tidak berada di tangan calon, melainkan sepenuhnya dikendalikan oleh masyarakat. Bukan calon yang menawarkan visi-misi-program kerja kepada masyarakat, melainkan masyarakat yang memberikan penawaran kepada siapapun calon yang mampu mengikuti kehendaknya. Banyak cara yang dapat ditempuh oleh masyarakat, mulai dari aksi loby, perumusan isu, menggunaan medium kampanye, sampai ke tindakan ”boikot” pada pelaksanaan pemilu. Semuanya bisa dilakukan untuk menghasilkan daya tawar dan membentuk pemilih yang kritis dan aktif dalam politik. Sejalan dengan kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat yang tiap lokalitas berbeda, di butuhkan talenta masyarakat untuk menawarkan, targeting dan positioning. Tiga aktivitas ini memungkinkan menjaring, menetapkan titik bidik, kepada siapa masyarakat merangkul calon yang sesuai dengan visi-misi-program pembangunan masyarakat yang bersangkutan. Dengan menetapkan kampanye model baru ini, dimungkinkan tidak ada lagi janji-janji palsu calon, omong kosong dan penipuan massal oleh calon. Masyarakat yang menentukan, memberikan legitimasi, bahkan sampai penciptaan kontrak sosial-politik yang di syahkan pejabat notaris setempat sebagai perjanjian perdata yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga tak seorang calon pun yang mengingkari kontrak yang telah disepakatinya saat kampanye. Kampanye model baru memberikan kesadaran masyarakat akan adanya daya kekuatannya sendiri. Masyarakat harus memiliki tipe organisasi post-birokratis yang modern dan kokoh, menyusun tim loby, tim manajemen pemasaran, dan tim advokasi dalam rangka menyusun strategi kampanye untuk menggait calon. Tidak ada kata ”susah” dalam mengimplementasikan konsep kampanye model baru ini. Tinggal kekritisan, kemampuan, dan keinginan masyarakat untuk memulai aktivitas penawaran dan pemasarannya sendiri. Masyarakat mengkonsep kebutuhan, keinginan dan harapannya sendiri dalam suatu abstraksi, dan kemudian mengolah abstraksi untuk menjadi sebuah proposal penawaran kepada calon-calon yang berkepentingan dan berminat dengannya. Kampanye melalui surat edaran yang di dalamnya termuat materi-materi konsep abstraksi yang telah disusun oleh masyarakat. Kemudian medium tersebut digunakan sebagai bahan promosi, citra, dan produk politik yang di jual ke calon-calon yang sebelumnya telah dijadikan sasaran terpaan. Aktivitas loby dan komunikasi menduduki peranan yang sangat vital. Segmentasi kelompok dalam masyarakat tentunya disamping harus memiliki kemampuan loby yang kuat, juga harus memiliki struktur fungsional yang efektif. Sehingga aksi demonstrasi bahkan sampai boikot sebagai alternatif rencana cadangan, misalnya saja target calon meleset. Demonstrasi mencerminkan kekuatan dan solidaritas massa yang memperlihatkan jumlah dukungan kuantitatif masyarakat. Sehingga dengan demonstrasi tersebut, konsep abtraksi –yang bisa saja berupa rumusan isu– dengan mudah muncul ke permukaan dan menjadi wacana sentral. Sampai pada aksi pemboikotan, simpati dan perhatian publik akan tertuju padanya. Dalam kondisi demikian, tidak ada yang bisa menghentikan bagi calon-calon yang memasang harga karena terpikat oleh daya tawar masyarakat yang bersangkutan. Walaupun, konsep kampanye baru ini terkesan anarkis dan tidak etis, tetapi tidak ada alternatif lain yang bisa menggantikan, bagaimana cara kekuatan masyarakat sendiri bisa direalisasikan. Kita tentunya tidak ingin masyarakat selalu di jadikan bulan-bulanan oleh calon-calon elit politik. Mungkin ada pertanyaan kritis perihal menyoal konsep kampanye baru ini, tentang apakah konsep kamapanye baru ini menyalahi aturan, terutama merusak nilai-nilai demokrasi. Dengan tegas, jawabannya adalah ”tidak”. Justru model kampanye baru ini sejalan dengan ide-ide demokrasi. Demokrasi yang mengarahkan postulat-postulat ”partisipasi politik” warga di dalam kehidupan politik. Democracy and Educational Administration sebuah buku yang dikarang oleh John Dewey (1937) menegaskan bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi politik dan perebutan kekuasaan yang damai. Democracy is more than a special political form; it allows the necessary participation of every mature human being in the formation of the values that regulate a peaceful society. Dengan landasan ilmiah, bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi politik, maka dengan ini merekontruksikan partispasi politik aktif warga masyarakat harus diketengahkan. Dengan konsep kampanye model baru, di mana sistem kampanye dikendalikan oleh masyarakat, maka demokrasi Indonesia bisa mencapai pada ukuran demokrasi subtansial. Masyarakat yang cerdas, sadar, dan aktif dalam berpolitik memungkinkan terwujudnya keadilan sosial yang seriring dengan pembangunan demokrasi itu sendiri. Awaludin Marwan, SH Peneliti Sosial, Mahasiswa Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP

Fenomena Bunuh Diri



Maraknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Bunuh diri sudah seharusnya tidak dipandang lagi sebagai satu persoalan yang parsial, melainkan memiliki berbagai variabel kausalitas. Bunuh diri bukanlah masalah pribadi individu secara psikogis semata. Tetapi banyak faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya sebagai faktor sistemik.
Kasus bunuh diri bisa kita lihat pada Setember 2008, sebuah keluarga Yanuar Stevanus dengan melibatkan istri dan dua anaknya. Modus yang dipakai dengan membakar diri beserta seluruh isi rumah. Kasus lain kita dapat melihat sebelumnya terjadi di Jawa Timur. Bunuh diri dilakukan oleh Junaniah Merci ditemukan tewas bersama 4 anaknya di kamar.
Di daerah lain, seperti halnya Bali, ditemukan data yang tercatat selama satu tahun terdapat 115 kasus bunuh diri pada tahun 2005. Sebelum tahun tersebut kasus bunuh diri memiliki kuantitas yang lebih tinggi, yakni 121 kasus. Data yang diidentifikasi oleh Polda Bali diketahui kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh kalangan menengah kebawah.
Tingginya jumlah kasus bunuh diri ini harus di selidiki, guna mengkontruksikan resolusi efektif penanggulangannya. Kasus bunuh diri yang merupakan cermin penurunan moral dan ketidak-berdayaan manusia baik secara individu atau masyarakat dalam menghadapi hidup. Ia harus ditempatkan sebagai faktor psiko-patologi-sosial, penyakit masyarakat. Sehingga memunculkan tanggung jawab sosial.
Emile Durkheim sosiolog Prancis, dengan tegas menunjuk tanggung jawab sosial sebagai sumber persoalan tinggi-rendahnya kasus bunuh diri. Studinya terhadap dua segmen religius menunjukan bahwa satu kelompok memiliki potensi bunuh diri lebih banyak. Diketahui bahwa integrasi sosial masyarakat tersebut melemah, memunculkan individualisme dan menciptakan dorongan bunuh diri.
Bunuh diri bagi Durkheim lebih dipahami sebagai persoalan yang datang dari masyarakat. Bunuh diri problem individual yang bersifat saling berkait (dependent variable) dan faktor yang paling berpengaruh adalah persoalan sosial. Lemahnya pengawasan, kekeluargaan, dan saling menjaga antar-individu dalam masyarakat merupakan faktor utama.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa kurangnya kewaspadaan, perhatian, dan respon masyarakat terhadap bahaya bunuh diri yang menyebabkan terjadi banyak kasus bunuh diri bermunculan. Ternyata disejumlah tempat, kasus bunuh diri bisa dicegah oleh masyarakat. Di medan beberapa waktu lalu masyarakat menyelamatkan seorang wanita terjun dari gedung bertingkat.
Percobaan bunuh diri yang gagal di Medan bisa dijadikan contoh betapa peran masyarakat sangat dibutuhkan sebagai upaya preventif. Tetapi seharusnya lebih jauh dari itu, hubungan dan komunikasi yang harmonis diantar-individu dalam masyarakat lebih mampu mencegah tak hanya percobaan bunuh diri, melainkan hingga sampai pada ”niat”. Jadi hubungan dan harmonis diantar-individu dalam masyarakat bisa meredam niat orang bunuh diri. Kesaling pengertian, saling menghormati dan tolong menolong, upaya yang paling efektif pencegahan kasus bunuh diri dalam masyarakat.
Transisi masyarakat tradisional yang memiliki solidaritas mekanik ke masyarakat modern yang dipenuhi solidaritas organik, ternyata juga banyak yang dipertaruhkan. Di balik modernitas yang mengoperasikan pembaharuan hukum dan pengorganisasian masyarakat, ada sisi lain yang justru mmperburuk kondisi masyarakat.
Bunuh diri merupakan dampak dari modernitas yang menggiring masyarakat ke jurang individualisme dan melemahkan integrasi sosial. Individualisme dan melemahkan integrasi sosial, biang keladi faktor psiko-patologi-sosial. Faktor sosial yang terpuruk inilah oleh Durkheim yang membentuk kategorisasi bunuh diri: egoistik, altrustik, dan anomik.
Bunuh diri egoistik, dorongan yang dipengaruhi rasa yang tak membutuhkan orang lain dalam hidup. Sudah tidak lagi merasakan arti pentingnya keberadaan orang lain disekitar pelaku. Committed by people who are not strongly supported by membership in a cohesive social group (Durkheim, 1987). Hilangnya kepekaan terhadap komunitas, tidak lagi merasakan kemanfaatannya sebagai anggota masyarakat.
Sementara, bunuh diri altrustik, bunuh diri yang sebaliknya malah lebih memprioritaskan kelompoknya ketimbang pribadinya. Keinginan untuk menghadapi kematian demi membela agama, ras, etnis, dan kelompoknya yang berlebihan merupakan contoh nyata tipikal bunuh diri ini. Committed by people who are deeply committed to group norms and goals and who see their own lives as unimportant (Durkheim, 1987). Kehidupan baginya sudah tidak lagi penting. Baginya yang terpenting adalah identitas dan kepentingan kelompoknya.
Yang terakhir, adalah bunuh diri anomik, ketidak berdayaan pribadi dalam menghadapi arus perubahan lingkungan atau committed by people when society is in crisis or rapid change (Durkheim, 1987). Orang tidak bisa menggapai tujuan-tujuannya di tengah perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Tiga tipikal bunuh diri yang kita lihat dari konsepsi Durkheim dapat dijadikan kacamata analitis bagi kasus bunuh diri acapkali bermunculan. Tipikal ketiga, yakni bunuh diri anomik, yang kebanyakan terjadi di dalam masyarakat kita. Orang yang tak mampu memenuhi tuntutan perubahan dalam masyarakat inilah yang banyak dijadi penyebab kenapa orang banyak melakukan penyelesaian masalah dengan bunuh diri.
Tuntutan ekonomi, taraf pendidikan yang rendah, hingga melemahnya moralitas seseorang ditengah perubahan yang memunculkan penyebab orang banyak memilih jalan pintas, bunuh diri. Hanya dengan penguatan kembali integrasi sosial masyarakatlah, potensi bunuh diri bisa ditekan. Butuh penyadaran masyarakat secara kolektif untuk meningkatkan solidaritasnya dan memunculkan perhatiannya terhadap sesama.


Awaludin Marwan, SH
Mahasiswa PascaSarjana Fakultas Hukum UNDIP, Peneliti di LSM Dewa-Orga

Krisis Pidana Pemilu


Kriminalitas Pelanggaran Pemilu


Demokrasi kali ini menampakan pertunjukan yang menyeramkan. Pasalnya, hampir setiap aktivitas politik bisa diklasifikasikan dalam ”kejahatan”.


Peningkatan daftar jumlah kejahatan pemilu terbentur dua persoalan. Pertama, adanya regulasi tersebut menjadi faktor kriminogen, membuat data kejahatan semakin bertambah. Kedua, sulitnya menerapkan dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), mengingat kesiapan aparat penegak hukum yang ada.

Bertambahnya daftar kejahatan pelanggaran pemilu menjadi 55 item kejahatan pasal 260-331 dalam UU no. 10 Tahun 2008, bisa diselidiki sebagai upaya yang gegabah. Sebagaimana konsepsi teoritis hukum pidana klasik, dikenal tiada pidana tanpa korban (victim). Tetapi kali ini, kejahatan direduksi berupa pasal-pasal pelanggaran yang menjerat seseorang menjadi jahat.

Banyaknya perilaku biasa menjadi jahat merupakan karakteristik khas regulasi pemilu kali ini. Memberi keterangan keliru menjadi jahat, PPS tidak memperbaiki data menjadi jahat, KPU tidak melanjutkan laporan bawaslu menjadi jahat dan seterusnya. Semuanya ini menciptakan faktor kriminogen.

Faktor kriminogen bisa dipahami sebagai hasil bertambahnya jumlah kejahatan, bukan berasal dari unsur perilaku (behavioral of people), melainkan bersumber pada kesalahan merumuskan regulasi. Mengkriminalisasikan berbuatan yang semula bukan merupakan kejahatan dengan gegabah bisa menambah kekacauan dalam lapangan hukum pidana baik secara teoritis maupun praktis.

Jika ditelusuri, asumsi penambahan delik pelanggaran pemilu disinyalir berasal dari: upaya pencegahan pelanggaran pemilu. Tetapi justru pelanggaran pemilu tetap saja berkelanjutan, tetapi regulasi yang keliru itu tetap menjadi momok yang misterius dan kejam. Yang diserang tidak hanya caleg saja sebagai potensi pelaku tindak pidana, melainkan KPU, media, lembaga riset, dan masyarakat.

Ada satu hal lain yang dapat kita cermati dalam perumusan regulasi ini. Yakni ketika kita mengingat teori Roberto M Unger yang termasyur Critical Legal Studies. Bahwa produk hokum sebenarnya hanyalah cermin bagaimana kepentingan penguasa disalurkan di balik legalitas yang ada.….that existing social and legal arrangements ought to be transformed so as to create a society that will be free from the "hegemony" and "hierarchies" that prevail at present.

Unger percaya bahwa hukum terjadi dan dilaksanakan berdasarkan hasil kompromi penguasa, ajang despotisme negara yang menindas rakyatnya. Sarana partai besar di senayan guna menindas partai kecil. Instrumen guna membungkam suara lembaga riset dan media. Dan wadah bagi penekanan partisipasi masyarakat agar tidak terlibat jauh di dalam politik.

Hukum tidak netral dan tidak bebas nilai. Ia selalu berpihak pada penguasa dan memiliki nilai-nilai yang dibentuk oleh penguasa itu sendiri. Sehingga di dalam hukum itu hanya melindungi kepentingan status quo penguasa yang bersangkutan, bukan untuk kemaslahatan masyarakat.

Sudah memngetahui bahwa regulasi kejahatan pelanggaran pemilu telah cacat secara materi dan tujuan. Kita akan menemukan bahwa regulasi ini juga cacat secara sistemik. Sebab sulitnya penerapan materi sebagaimana yang dikehendaki oleh isi dan mekanisme dalam UU tersebut. Ada dua hal yang menjadi barometer cacat sistemik regulasi ini: acara cepat dan lemahnya dukungan partisipasi masyarakat.

Persoalan awal, di acara cepat, aparat penegak hukum tak mampu menanggani secara maksimal. 3 (tiga) hari saat kejadian perkara, harus masuk di panwas, 3 (tiga) hari di kepolisian, dan 6 (enam) hari di pengadilan. Terbukti seluruh Indonesia, hanya satu perkara pidana yang berhasil diputuskan, yakni di Blora Jawa Tengah, kejahatan pelanggaran kampanye di luar jadwal.

Sedangkan lemahnya dukungan partisipasi masyarakat, terbukti sangat lemah. Laporan yang masuk di panwas sebagian besar berasal dari temuan personil institusi itu di lapangan. Masyarakat kurang mengapresiasi adanya regulasi kejahatan pelanggaran pemilu dengan perilaku aktif. Apalagi berkenaan dengan money politik. Sesuatu hal yang banyak diminati masyarakat dan tradisi dalam pemilihan desa. Sehingga untuk meyingkap politik uang yang objeknya adalah masyarakat itu sendiri sangatlah sulit.

Terkonstruksinya regulasi kejahatan pelanggaran pemilu ini yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat juga sebuah materi yang salah fatal. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sam S Sauryal dalam bukunya yang termasyur Ethics in Criminal Justice in Search Of The Truth. Bahwa regulasi hokum pidana hendaknya consistent with the agency’s organizational subculture or the product of customary practices. Kebijakan pidana sudah seharusnya sesuai dengan kebudayaan dan kebutuhan masyarakat.

Jika merumuskan regulasi pidana tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masyarakat, maka jangan mengharapkan masyarakat berpartisipasi di dalamnya. Regulasi yang tidak sesuai dengan standar nilai yang ada di masyarakat hanya membuat masyarakat apatis. Regulasi hanyalah menjadi ajang peningkatan karier aparat lembaga supratruktur dan arena perebutan kekuasaan politisi.

Regulasi hukum pidana yang cacat secara teoritis maupun praktis ini, menjadi kententuan yang sia-sia. Keberadaannya tidak menjadi bermanfaat melainkan malah jadi masalah dan penghambat. Kebijakan penyusunan hukum pidana hendaknya dirumuskan secara serius masalah subtansional, kemampuan aparat penegak hukum, dan kebudayaan masyarakatnya.



Awaludin Marwan, SH

Mahasiswa PascaSarjana Hukum UNDIP, Peneliti di LSM Dewa-Orga