Jumat, 25 Juli 2008

Pendidikan Politik Kaum Tertindas

Potensi besarnya angka Golput Jawa Tengah dalam konteks perilaku pemilih (voting behavior) tidak bisa disalahkan. Refleksi sangat dibutuhkan tentang persoalan taraf pendidikan politik mereka. Karena dengan pendidikan politiklah, kontruksi sadar dan cerdas memilih terwujud.


Konsepsi pendidikan kaum tertindas pernah mengemparkan Amerika saat dikumandangkan oleh Paulo Freire pada abad ke -19 mangandung sejumlah orientasi filosofis pendidikan ke suatu yang lebih memanusiakan, demokratis, pragmatis, dialogis, dan membebaskan. Konsepsi ini bisa di pakai untuk memotret dan memberikan solusi bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan politik khalayak pemilih.

Pendidikan politik sebagaimana yang dapat kita lihat dalam sosialisasi dan kampanye pilgub tidak secara holistik memperhatikan eksistensi kaum tertindas. Kaum tertindas yang memiliki keterbelakangan hanya bisa berpasrah diri dengan keadaan dimana keterbatasan kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan sosialisasi yang di lakukan oleh penyelenggara tidak menyentuh dan mendukung terbentuknya kecerdasan dan kesadaran politik mereka.

Sosialisasi dan kampanye hanya berniat untuk mengiring mereka mencoblos, bukan mencerdaskan dan membebaskan. Tak banyak diharapkan dari sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Dengan bermodalkan cara konvensional menawarkan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Agenda sosialisasi menjadi sebuah tahapan yang terkesan rutinitas semata. Apalagi pola komunikasi yang disediakan bagi kaum tertindas hanya dalam format penyuluhan dan menyalurkan informasi lewat media. Metode ini menutup dialog, memberanguskan kesadaran, layaknya sistem pendidikan politik otoriter –meminjam ungkapan Freire– seperti banking education tanpa kurikulum dan target yang jelas.

Sedangkan kampanye hanya akan membangun skeptisisme terhadap bangunan pendidikan politik yang ada. Pada kenyataannya, kampanye terbuka –sebagai alternatif bentuk kampanye yang banyak dipilih kandidat–mengutamakan penggiringan massa hanya berefek memangkas ruang dialog. Padahal dialog sendiri, bagi Freire merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Dengan dialog kritis, secara otomatis mendorong tranformasi sosial dan pembebasan serta mencerdaskan secara politis khalayak pemilih.

Bentuk sosialisasi dan kampanye yang popular saat ini mengharuskan prakondisi yang mana diperlukannya karakteristik pemilih rasional. Untuk menuju pemilih rasional paling tidak diperlukan energi yang cukup besar, baik taraf pendidikan formal maupun tingkat kesejahteraan yang mencukupi. Kaum tertindas jauh dari faktor tersebut, maka perlu pendidikan politik yang meletakkan dasar humanisasi kaum tertindas yang mensejajarkannya dalam bentuk kesadaran kritis.

Kaum tertindas bisa diartikan mereka pemilih yang termasuk golongan miskin. Sebanyak 21, 11 % penduduk Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS, 2007: hal 185). Daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Kabupaten Brebes, yakni 51, 60 % jumlah penduduk miskin sedangkan jumlah penduduk miskin terkecil di Kota Magelang dengan 17, 70 % penduduk miskin. Kaum inilah yang pertama kali perlu diketengahkan pembangunan kesadaran dan kecerdasan politiknya.

Dilema ketidak-sadaran dan ketidak-kecerdasan kaum tertindas memang persoalan fundamental. Maka cukup rasional, persoalan fundamental ini di sandingkan dengan fenomena golput di dalam setiap pemilihan. Golput, dimotori oleh, keterbatasan informasi, apatisme, dan apolitis. Kurangnya pendidikan politik pemilih serasa cukup signifikan melahirkan bertambahnya angka golput.

Prihatmoko (2008) pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004, angka golput (22,06 persen) dibawah partai pemenang pemilu/ PDI-P (23,09 persen). Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 persen) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 persen). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 persen) masih mengalahkan golput (28 persen). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 persen) dikalahkan golput (31,14 persen). Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 (42,31 persen) dari 26 pilkada kabupaten /kota. Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan dan Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian secara presentasi pilkada yang dimenangkan golput meningkat dari 41,18 daerah (2005), 42,86 persen(2006) menjadi 50 persen(2007). Dari sebelas pilkada itu, rata-rata golput sebesar 36,74 pesen jauh diatas suara bupati/walikota terpilih sebesar 26,10 pesen. Selisih perbandingan itu rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 persen dan bupati/walikota terpiliih 35,12 persen. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub.

Dengan potensi golput sebesar ini, maka perhatian serius perlu ditujukan untuk membangun kembali kesadaran dan kecerdasan politik warga, terutama kaum tertindas ini. Sekali lagi, dalam karya Freire, Pedagogy of The Oppresed, menekankan pentingnya pendidikan berkesadaran menuju ketiadaan penindasan, dalam konteks yang lebih operasional, bisa dilakukan oleh penyelenggara melalui sosialisasi. Sosialisasi diselenggarakan oleh penyelenggara harus memposisikan diri sebagai agen demitologisasi dalam menghadapi masalah dan menganggap dialog sebagai instrumen terpenting, memberikan motivasi pemilih menjadi pemikir kritis dan merangsang kreatifitas aksi dalam menghadapi persoalan politik.

Kalaupun perlu, sosialisasi, kedepan haruslah diatur sedemikian rupa menyerupai sarana pendidikan politik non formal yang mencerdaskan. Tidak hanya sekadar mengajak pemilih untuk mencoblos atau menggunakan hak pilihnya saja, akan tetapi mampu mengajak pemilih untuk berpikir, mampu membongkar profil, visi, misi, program, dan arah kebijakan kandidat, sehingga pada akhinya, pemilih tidak hanya pandai memilih dengan benar, tapi mampu mendampingi 5 (lima) tahun ke depan dengan kritisisme dari kontruksi kesadaran dan kecerdasan politik yang dimilikinya.


Awaludin Marwan, SH Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

MENAKAR TERORISME DI JAWA TENGAH

Terorisme tetap menjadi ancaman tiada akhir. Seteleh terungkapnya sindikat terorisme di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Pelaku utamanya Noordin M Top masih berkeliaran ditambah buronan Slamet Kastari. Dugaan kuat dua tokoh ini membangun dan menjalin hubungan dengan sel-selnya yang ada di seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Tengah.


Tujuan teror tidak lain adalah ketakutan. Sindikat teroris nampaknya sukses menebar kegelisahan dan rasa takut yang berlebihan (fear-morgers) yang dirasakan masyarakat luas dengan aktor-aktor utamanya yang masih berkeliaran. Selama Noordin M Top dan Slamet Kastari masih buron, kita masih belum bisa bernafas dengan lega.

Mengungkap sindikat terorisme sama halnya kita akan disuguhkan pola sebuah organisasi yang bagaikan mata rantai tiada terputus. Organisasi semacam klandestin Al Jamaah Al Islamiyah menjadi salah satu kedok strukturalis sindikat ini melancarkan aktivitasnya. Aktivitas mulai dari perekrutan, pelatihan, pendoktrinan, dan perencanan aksi disusun sistematis dan terorganisir.

Tak terdapat pemimpin tunggal dalam sindikat ini. Mereka hanya di bayang-bayangi oleh rasa kagum dan simpati pada tokohnya dan cenderung bersifat diaspora (menyebar seperti sel-sel). Karena bentuknya yang tidak mengerombol dan antarakelompok satu dengan yang lain berpencar, membangun basis kekuatan masing-masing, maka perburuan teroris menemukan perjalanan panjang.

Di Jawa Tengah yang beberapa kali dikagetkan dengan terkuaknya sindikat terorisme dan persinggahan tokoh-tokoh terorisme. Bahkan kali ini Slamet bin Kastasi beserta adikanya diduga berkeliaran di Jawa Tengah (Kompas/ 7/ 7). Pengungkapan kasus terorisme memerlukan kerja super ekstra.

Sindikat yang satu ditangkap dan dibekukan. Sindikat yang lain tetap menjalankan kaderisasi dan mengembangkan jaringannya. Perburuan teroris mengalami kebuntuan. Hanya dengan menangkap tokoh teroris hidup-hidup, mengintrogasinya, untuk dapat menunjukkan basis sindikatnya, kemudian melakukan pembersihan dengan cara persuasif maupun represif dapat mengupas tuntas terorisme. Namun hal ini bukanlah perkerjaan yang mudah.

Sindikat terorisme tak hanya terdapat di Indonesia saja.Terorisme merupakan kejahatan internasional yang terorganisir (Transnational organized crime), oleh karena itu dalam penanggulangannya membutuhkan kerja sama internasional. Menurut konvensi Palermo, 2000, suatu kejahatan dapat di kategorikan sebagai Transnational Organized Crime, apabila memiliki karakteristik : dilakukan lebih disatu Negara; dilakukan di satu negara, tetepi persiapan, perencanaan dan pengendalianya mengambil di negara lain; dilakukan di satu negara, tetepi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki jatingan kegiatan di banyak Negara; atau dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya mengimbas sampai negara lain.

Terorisme Indonesia diduga kuat masih memiliki hubungan dengan sindikat internasional. Dengan demikian, pembersihan terorisme perlu dilakukan dengan upaya kerja sama internasional dengan berbagai Negara lain.


Perburuan Terorisme

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang juga berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againt humanity). Kesalahan terhadap pemberantasan terorisme bisa berakibat fatal. Nyawa dan ketenangan khalayak luas taruhannya. Maka diperlukan sistem yang bisa menjamin pemberantasan terorisme hingga sampai ke akar-akarnya.

Pada tahun 2005, Indonesia telah meresmikan kerjasama bilateral di bidang counter terrorism diantaranya adalah dengan Polandia melalui penandatanganan Agreement on Cooperation in Combating Transnational Crime and Other Types of Crime dan dengan Vietnam melalui MoU on Cooperation and Combating Crime.

Sementara itu, dalam konteks kerjasama multilateral, Indonesia terlibat dalam ASEAN – Republic of Korea Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, ASEAN – Pakistan Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, dan ASEAN – New Zealand Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, serta yang paling baru adalah dalam ASEAN Summits pada Januari 2007 juga telah diresmikan melalui penandatanganan kesepakatan ASEAN Convention on Counter Terrorism.

Peningkatan infrastruktur aturan hukum, pemerintah bersama dengan DPR telah berhasil meratifikasi dua konvensi internasional yaitu International Convention for Suppression of the Financing of Terrorism (1999) dan International Convention for the suppression of Terrorism Bombings (1997). Dengan banyaknya kerjasama dan sarana yang tersedia ini diharapkan Indonesia lebih mampu menanggulangi tindak kejahatan terorisme hingga selesai tuntas.

Sarana yang disediakan diatas, patutlah diikuti dengan peningkatan kemampuan dalam mendeteksi, mengungkap dan menangkap para pelaku serta mengungkap jaringan terorisme oleh aparat penegak hukum. Tidak sekedar teks dan subtansi produk hukum yang dihasilkan pemerintah saja. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas Desk Anti-Teror perlu dilakukan hingga tingkat desa.

Kesemuanya ini memudahkan pengungkapnan jaringan terorisme serta tertangkapnya tokoh-tokoh utama terorisme. Terdeteksi dan terungkapnya jaringan kejahatan transnasional dan jaringan terorisme. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam penanggulangan aksi terorisme. Dan meningkatnya daya cegah dan daya tangkal negara terhadap ancaman terorisme secara keseluruhan.


Awaludin Marwan, SH

Alumni Fakultas Hukum UNNES

Kamis, 24 Juli 2008

KRITIK INKONSTITUSIONALITAS PEMILU

Vonis gelar pengadilan Mahkamah Konstitusi tentang penegasan implementasi electoral threshold terkesan seperti dagelan politik saja. Vonis itu hanya menjadi pelajaran bagi pemangku produk perundang-undangan. Tidak berihtikad membenahi sistem regulasi hukum pemilu. Kewibawaan Mahkamah Konstitusi perlu ditinjau ulang.



Ketimpangan menampakkan batang hidungnya, dengan fatwa yang dikemukakan dalam jumpa pers Ketua Mahkamah Konstitusi yang didampingi Ketua Komisi Pemilihan Umum. Pasalnya, jumpa pers ini seperti ingin menyampaikan bahwa ada islah antara Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Pemilihan Umum. Di luar putusan peradilan, Ketua Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa putusan hanya berlaku untuk waktu mendatang, tidak berlaku saat ini.

Fatwa yang dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi terlihat ada semacam keganjilan. Pertama, fatwa tersebut mengakhiri dialektika tentang status legitimasi Pemilu saat ini. Sementara, berlakunya keputusan untuk masa mendatang, dapat dipastikan tidak akan bisa terlaksana. Karena setiap kali pemilu, regulasi hukumnya selalu direvisi dengan yang baru. Maka sia-sia saja keputusan ini diterbitkan.

Kedua, fatwa hukum yang disampaikan ke publik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi tidak tepat. Sebab, secara subtansial Contitutional Court tidak sampai berfungsi mengeluarkan fatwa hukum. Seperti halnya di Republik Cheko, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki “preventive norm control”dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa hukum (advisory opinions).

Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi hanya memiliki kewenangan dapat menetapkan bahwa suatu kententuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan sebagian ataupun seluruh peraturan itu. Kewenangan selanjutnya diserahkan kepada pihak-pihak yang terkait. Singkatnya, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutuskan perkara saja, tidak lebih.


Vonis Perkara

Pasal 316 huruf d yang menjadi fokus dari permasalahan, dianggap sebagai kententuan diskriminatif, petanda kemunduran demokrasi dan tidak sesuai dengan prinsip Negara hukum (rechtstaat). Dari ketentuan Pasal 316 huruf d ini, partai peserta Pemilihan Umum 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, namun mempunyai kursi di DPR tidak mempunyai kewajiban mengikuti verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum, sementara partai lainnya tidak demikian. Kententuan ini memberikan keistimewaan kepada partai politik peserta Pemilu 2004 yang mempunyai kursi di DPR.

Secara keseluruhan perolehan suara pemilu legislative 2004 dapat di ilustrasikan sebagai berikut: PNI Marhaenisme 923.159 (0,81%); Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 (0,56%); Partai Bulan Bintang 2.970.487 (2,62%); Partai Merdeka 842.541 (0,74%); Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 (8,15%); Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 (1,16%); Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 (0,59%); Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 (1,08%); Partai Demokrat 8.455.225 (7,45%); Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia 1.424.240 (1,26%); Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 (0,75%); Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610 (0,79%); Partai Amanat Nasional 7.303.324 (6,44%); Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 (2,11%); Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 (10,57%); Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 (7,34%); Partai Bintang Reformasi 2.764.998 (2,44%); Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 (18,53%); Partai Damai Sejahtera 2.414.254 (2,13%); Partai Golongan Karya 24.480.757 (21,58%); Partai Patriot Pancasila 1.073.139 (0,95%); Partai Sarikat Indonesia 679.296 (0,60%); Partai Persatuan Daerah 657.916 (0,58%); Dan Partai Pelopor 878.932 (0,77%).

Berdasarkan data diatas, maka seharusnya hanya terdapat 7 Partai yang lolos dari electoral threshold. Namun karena biang keladi pasal 316 huruf d ini, membuat persoalan bertambah runyam dengan tambahan menjadi 17 partai yang lolos tanpa adanya verifikasi KPU atau Departemen Hukum dan HAM.

Secercah harapan baru berkehidupan hukum dan politik lahir dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008. Sayangnya, keputusan tersebut tidak berdaya dan mengalami kebuntuan. Persoalan ini bisa dipandang sebagai ketidak-seriusan Mahkamah Konstiusi menyidangkan perkara tersebut.

Sebenarnya perkara ini sudah terdaftar semenjak 30 April 2008 lalu. Namun baru 10 Juli 2008 diputuskan dari gelar sidang Mahkamah Konstitusi. Keputusan tersebut terbit setelah KPU menyelesaikan verifikasi Partai.

Hal ini berberda jauh dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 April 2004 terhadap permohonan pengujian Pasal 6 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang sangat cepat. Registrasi Perkara Konsitusi tanggal 19 April 2004, namun tanggal 22 April 2004 Majelis Hakim sudah menjatuhkan vonis.

Melihat dilema diatas, ada baiknya Mahkamah Konsitusi melakukan refleksifitas institusi. Sehingga efektivitas keputusan semakin meningkat dan kewibawaan lembaga kehakiman tersebut bisa terjaga.


Kemajuan Berdemokrasi

Satu sisi positif pelajaran yang dapat diambil dari Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah tumbuh kembangnya kesadaran berkonstitusi oleh komponen political society kita. Prinsip supreme of constitution dan rule of law nampaknya mulai memandu mereka dalam pencarian penyelesaian politik. Di tempuhnya lajur ini oleh peserta pemilu, memberi angin segar untuk menggapai cita-cita the living constitution di republik ini.

Komponen yang mewakili political society dalam perkara ini adalah : Partai Persatuan Daerah (PPD); Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB); Partai Bintang Reformasi (PBR); Partai Damai Sejahtera (PDS); Partai Bulan Bintang (PBB); Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI); Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK); Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); Partai Pelopor (PP); Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI); Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD); Partai Serikat Indonesia (PSI);dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konsitusi.

Semoga kehidupan berhukum kita yang terejawantahkan dengan pola penyelesaian politik lebih etis, mengedepankan perbincangan rasional, dan penegakan hukum (law enforcement). Tidak akan ada lagi pola penyelesaian politik dengan kekerasan. Bangunan demokrasi bisa menjadi lebih baik dan manusiawi.


Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

Catatan di Akhir PIMNAS

PIMNAS telah usai. Selayang pandang di akhir pelaksanaan PIMNAS menampakkan sejumlah catatan. Tentang intelektualitas karbitan, syahwat “proyek”-isme versus kreatifitas karya idealis mahasiswa, dan dominasi ilmu eksak.

Rasa-rasanya, PIMNAS memang hanya menciptakan intelektual muda karbitan. Kadar inteletualitas seseorang mahasiswa diukur dengan kemenangannya di arena perlombaan yang hanya berproses selama se-pekan. Padahal, intelektualitas selayaknya tidak di nilai oleh proses yang berlangsung instan, melainkan dibutuhkan waktu berproses yang lama. Lamanya seseorang inteletual merupakan syarat sah akan konsistensi pemikirannya terhadap kebenaran yang ditandai dengan karya-karyanya yang banyak di akui oleh khalayak umum.
Dengan demikian, kemenangan sejumah peserta PIMNAS bukanlah suatu kebanggaan. Sebab, upaya ilmiahnya hanya sampai di titik itu. Inteletualitas dari kemenangan itu diperoleh dengan proses yang instan. Dan tinggal bagaimana si-pemenang kemudian mampu mempertahankan karya intelektualnya itu di dalam arus ilmu pengetahuan selepas dari PIMNAS. Walaupun pada kenyataannya jarang sekali kita temukan kader PIMNAS yang masih survive di belantara perkembangan ilmu pengetahuan.
Kader PIMNAS juga nampaknya akan mengalami kesulitan pada tingkatan follow up, jika tidak dibarengi dengan inisiatif sendiri. Karya-karya peserta tak ubahnya bagaikan sederetan pameran tanpa makna yang kemudian di nilai oleh Negara. Negara sepertinya tidak menyediakan sarana pemanfaatan karya-karya ini sebagai bahan-bahan pengembangan sains kearah yang lebih serius. Umpamanya saja untuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right) yang tidak di usahakan untuk temuan-temuan yang dihasilkan oleh peserta PIMNAS.
Padahal perlindungan di ranah penemuan teknologi penting untuk dilindungi dengan hak paten (patent right). Sedangkan di bidang penelitian diperlukan hak cipta (copy right). Perlindungan ini tak hanya penting bagi pencipta yang tak ingin berhadapan dengan aksi pembajakkan atau penjiplakkan, tapi juga menjaga orisinalitas dan menjaga hak moral dari si pencipta atas suatu barang.
Baru saja di sudut atensi perlindungan hukum terhadap karya-karya peserta PIMNAS tidak banyak diperhatikan. Apalagi soal yang lain, misalnya mengembangkan karya sampai pada kemanfaatannya secara ekonomis maupun pemberdayaan berlanjut guna meningkatkan mutu dan kualitas karya.
Persoalan ini terkadang yang mendorong peserta PIMNAS menjatuhkan pilihannya kepada spekulan perusahaan yang lebih menjanjikan untuk mengembangkan karya-karyanya. Dari sinilah timbul kerawanan eksploitasi karya intelektualitas anak bangsa oleh sejumlah perusahaan multinasional. Beberapa karya yang kebetulan bernilai, ternyata sudah di tunggu-tunggu oleh pelaku bisnis komersil.

Kembali ke Fungsi
PIMNAS memang sudah saatnya dikembalikan ke fungsi asalnya. Sesungguhnya karya-karya yang dipertarungkan hanya memiliki dua tujuan. Yakni, mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencetak kader intelektual mahasiswa. Sedikit ketimpangan terlihat di banyak sudut tentang kejernihan tujuan ideal ini. Pertama, pengembangan ilmu pengetahuan tak bisa berjalan dengan maksimal. Karena eksistensi Progran Kreatifitas Mahasiswa Teknologi (PKMT) dan Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang menjadi ruh pengembangan ilmu pengetahuan dihegemoni oleh ilmu eksak.
Ilmu sosial tak banyak mendapatkan ruang perhatian. Sehingga pengembangan ilmu pengetahuan secara dini yang dimulai dari mahasiswa tidak berjalan secara balances. Bagaimana kita menerapkan teknologi dan penemuan yang berasal dari ilmu eksak ini ke dalam kehidupan sosialitas manusia jika kita tidak mempelajari ilmu sosial.
Program-program inovatif kebanyakkan yang lolos sampai ke penghujung perlombaan umumnya disibukkan dengan tematik tentang seputar teknik, biologi, fisika, kimia, dan sejenisnya. Jarang sekali, bahkan hampir tak pernah ada yang membahas tentang dampak sosial sebuah teknologi, studi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga (covenant international on economic, social, and culture right) atas suatu proyek teknologis.
Sosial dalam terminologi yang lebih luas dapat kita pakai konsepsi yang pernah di sampaikan oleh Talcot Parsons dalam The Structure of Social Actions maupun Toward a General Theory of Action. Bahwa masyarakat memiliki “sikap alamiah” yang mengandung kemampuan untuk mengolah objek tertentu, memberikan umpan balik senang atau tidak senang, siap atau tidak siap, dan yakin atau tidak yakin. Beranjak dari konsepsi ini, maka tak heran apabila “objek teknologis” dengan mudah di tolak oleh masyarakat. Rencana pembangunan yang berdimensi teknologis, PLTN, PLTU, dan sejenisnya di tolak oleh masyarakat karena tidak menghiraukan aspek sosial masyarakat.
Kedua, persoalan intelektualitas semu. PIMNAS tidak mensyaratkan inovasi dan karya murni mahasiswa. Sehingga dalam kenyataannya, banyak diantara mereka peserta PIMNAS yang sekadar memodifikasi bahkan menjiplak habis dari karya dosen pembimbing. Beruntunglah perguruan tinggi yang banyak mendapatkan hibah penelitian, karena hasilnya bisa dipakai juga oleh tim-tim mahasiswa yang berlomba di PIMNAS. Disini, ide asli mahasiswa dipertanyakan.


Awaludin Marwan
Pegiat Diskusi Komunitas Embun Pagi Semarang

Korupsi dan Kemacetan Negara

Strategi progresif untuk perangi korupsi nampaknya telah benyak mengalami kemajuan di seluruh Nusantara. Tak ketinggalan Jawa Tengah dua kasus yang telah diputuskan atas nama terdakwa Hendy Boedoro Bupati Kendal dan Bambang Guritno Bupati Semarang. Tak menutup kemungkinan koruptor kerah putih ini bertambah. Benarkah hal ini akan menciptakan kemacetan Negara ?.


Maraknya pejabat Negara yang terperangkap skandal korupsi di sisi lain bisa menyebabkan kemacetan Negara. Solusi otomatis, bagi institusi yang terjangkit koruptor,urusan pemerintahan bisa dilimpahkan ke wakil pemerintahan. Seperti halnya, perkara korupsi Hendy Boedoro Bupati Kendal yang diputuskan oleh Mahkamah Agung memvonis tujuh tahun dan Bambang Guritno Bupati Semarang oleh Pengadilan Negeri Semarang dihukum dua tahun (Kompas/ 21/07). Sementara ini, kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh mereka bisa terisi oleh wakilnya.

Namun dari hal inilah, ada persoalan terkait dengan kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Siapa yang paling layak menggantikan kepala daerah jika kepala daerah sementara ini berhalangan?. Ataupun bila pelaku koruptor sebagai pejabat di lingkungan struktural dan fungsional pemerintahan. Kekosongan jabatan akan menyisakan pelayanan publik yang terbengkalai dan harus menunggu lama proses penggantian atau penunjukkan pejabat sementara.

Sulit memang bila korupsi yang telah merasuk jauh ke dalam sistem, pada akhirnya akan membuat banyak orang yang terlibat, menjadikannya sebagai kejahatan ini sesuatu yang biasa. Seolah-olah kejahatan itu menciptakan hak. Dan, kalau satu dituntut, lalu semua harus ikut bertanggung jawab.

Praktek ini layim kita lihat, bahwa tertangkap tangannya satu pelaku korupsi, nantinya akan mengakibatkan penyeretan pelaku-pelaku yang diyakini sebagai sindikat yang terlibat dalam pengadaan tindak kejahatan tersebut. Karenanya, korupsi dianggap sebagai kebiasaan (habitus), maka di dalam benak pelaku korupsi hanya ada pretensi bahwa semua institusi korup, semua pejabat doyan suap, dan semua elemen bermain dalam menyuburkan kejahatan terorganisir ini.

Alih-alih pemberantasan korupsi tebang pilih mengingatkan kita bahwa upaya ini semacam skenario politik. Arah pemberantasan korupsi mudah ditebak, menimpa pejabat korup yang kurang memiliki kekuatan dan pengaruh. Pejabat-pejabat yang dominan terlihat kebal oleh hukum.

Seandainya pejabat yang terakhir ini ketahuan korupsi, besar kemungkinan lepas dari jerat hukum, atau untuk mengobati kemarahan publik, hanya di hukum ringan. Haryatmoko (2008) mengatakan hal ini “bisa”, karena aparat hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberikan alibi, melemahkan bukti hukum, mementahkan keterangan saksi yang memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.

Apatisme atas pemberantasan korupsi sebagaimana persoalan di atas ada baiknya di ikuti dengan perbaikan citra lembaga Negara di mata publik. Laju percepatan pemberantasan korupsi hendaknya tidak melupakan “pelayanan publik” yang diberikan Negara kepada masyarakat. Tapi demikian bukannya pemberantasan korupsi ditinggalkan. Hanya saja pemerantasan korupsi dibarengi dengan optimalisasi pelayanan publik yang tak boleh terlupakan. Sehingga kewibawaan dan citra Negara bisa kembali bersemai.

Dengan upaya progresif yang dilakukan secara cepat dan tegas oleh pemangku kebijakan, mengisikan pejabat-pejabat yang jujur untuk mengantisipasi kekosongan jabatan yang ditimbulkan oleh pejabat korup. Sehingga kemacetan penyelenggaraan pemerintahan tak akan mungkin terjadi, dan akhirnya pelayanan kepada masyarakat bisa berjalan sebagaimana mestinya.


Menjadi Komoditas

Korupsi telah menjadi satu kebiasaan. Kebiasaan akan membungkam rasa bersalah, sehingga pelaku korupsi cukup menikmati hasil dari kejahatannya dengan perasaan yang biasa dan wajar. Dalam banyak kasus, proses hukum untuk mengungkapkan pelaku korupsi justru berbalik menjadi sarana rehabilitasi dan pembersihan nama. Semua prosedur hukum yang dianggap adil memang sudah ditempuh, tapi hasilnya jauh dari rasa keadilan. Korupsi tetap saja tumbuh subur di seluruh bidang, mengakibatkan sikap dan perbuatan korup menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi adalah kebiasaan.

Anthony Giddens (1993), dalam bukunya New Rules of Sosiological Method mengkonstatasikan bahwa kebiasaan akan menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan individu-individu untuk bertindak. Dalam kerangka ini, bisa dilihat sebuah skema bahwa kebiasaan korupsi membentuk sebuah pola.

Pola korupsi antara lain, sebagai komoditas yang tidak hanya dimiliki oleh pejabat saja, namun juga oleh elemen-elemen masyarakat. Korupsi dipergunakan sebuah isu dan wacana yang dapat dibuat sebagai mata pencaharian. Isu dan wacana korupsi menjadi black campaign bagi pejabat yang saling beradu kekuatan untuk memperebutkan jabatan strategis tertentu.

Isu dan wacana korupsi juga bisa dipergunakan oknum lembaga non pemerintahan untuk memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang/ barang, atau bentuk lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Menyelami phenomologi ramainya lembaga non pemerintah baru-baru ini yang bergerak di bidang korupsi merupakan hal yang menarik tersendiri. Pada umumnya, kelompok penekan ini banyak bergerak di ranah pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan. Namun eksistensinya memiliki relasi dengan pelaku pengadaan barang dan jasa, serta hampir bisa dikatakan bahwa langkah-langkahnya bisa dipetakan menguntungkan kepentingan tertentu.

Stigmatisasi terhadap lembaga non pemerintahan yang bergerak di seputar isu korupsi ini memang muncul karena banyaknya afiliasi, kedekatan dan tujuan praktis. Sehingga menjadi penghambat bagi penyelenggaraan Negara khususnya pengadaan barang dan jasa yang profesional, fair, dan tranparan.

Sudah selayaknya reorientasi bagi kelompok penekan semacam ini perlu dilakukan. Walaupun sebenarnya masih banyak lembaga yang setia menjaga reputasi dan kredibilitasnya dan tak terjebak di lingkup manfaat praktis, meski jumlahnya sedikit.


Awaludin Marwan, SH

Alumni Fakultas Hukum UNNES

Minggu, 20 Juli 2008

MUDA MEMANG TAK DIPERCAYA

Alih-alih pemikiran dan wacana tentang pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi yang muda memimpin mengalami kebuntuan. Elit tua belum merelakan kemunculan orang muda. Hal ini nampak dalam regulasi yang tak mengijinkan kemunculan orang muda untuk dapat memiliki peran di kehidupan bernegara.


Bagi orang muda dengan karier dengan track record yang gemilang, dijamin dan dihargai di sistem politik Amerika. Demokrasi Amerika kembali menyajikan pemandangan yang menarik. Barack Obama menebarkan banyak inspirasi kita berkehidupan politik pascamodern. Di usianya yang masih muda belia, 43 tahun telah menjabat senator Illionis. Kini kursi kepresidenan sudah di hadapan mata setelah mengalahkan saingannya terberat Hillary Clinton.

Sosok Obama tidak hanya dapat dijadikan patokan, bahwa bukan saja keberhasilan person marketing dan tim suksesnya melakukan positioning –strategi menancamkan citra tertentu di benak pemilih. Namun juga sistem yang menyediakan sarana bagi kemunculan orang muda menjadi pemimpin.

Bagaimana dengan penghargaan terhadap orang muda di sistem politik Negara dunia ketiga, khususnya Indonesia yang memiliki heterogenitas dan kemajemukkan yang kental ini?.

Orang muda kurang memiliki ruang latihan kepemimpinan dalam struktur Negara. Mereka harus rela menanti sampai pemimpin yang tua telah kehilangan minat untuk berkuasa. Entah sampai kapan minat orang tua ini berakhir, kita semua tidak tahu pastinya. Harapan perubahan menemui kebuntuan.

Regulasi sebagai subtansi untuk melahirkan struktur dan kultur masyarakat, tidak memperkenankan orang muda menduduki jabatan-jabatan penting. Kita bisa melihat bahwa UU No 22 Tahun 2007 terutama pasal 11 huruf b yang mengatur syarat anggota KPU dan Pasal 86 huruf b yang menjelaskan persyaratan Bawaslu. Kententuan dalam dua pasal ini menyebutkan bahwa calon anggota KPU dan Bawaslu harus berusia minimal 30 tahun.

Batas usia petanda jelas upaya penjegalan orang muda untuk berkarier dan mengabdikan kemampuannya untuk Negara. Padahal figur-figur baru banyak kita dapatkan dan harapkan dari orang-orang muda. Orang muda simbol perubahan dan orang tua lambang dari kemapanan atau masa lalu yang suram.

Selain menghalangi orang muda berkarier, batasan usia, menghambat proses pertumbuhan demokrasi. Batasan usia membuat sirkulasi elite tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sirkulasi elite penting bagi demokrasi. Robert A. Dahl percaya bahwa sirkulasi elite sebagai salah satu hal terpenting bagi demokrasi dalam bukunya Democracy and Its Critics. Sirkulasi elit mengharuskan pergantian kepemimpinan di instusi-institusi yang di kuasai oleh Negara. Pandangan selama ini hanya menampakkan bahwa institusi-institusi Negara hanya dipimpin oleh orang-orang itu saja, sindrom “kamu lagi-kamu lagi”.

Diskriminasi pun terlihat dalam regulasi ini. Sebagai regulasi yang bisa difalsifikasikan dalam sumber hukum materiil. Regulasi tersebut tidak memenuhi tujuan hukum subtansial. Hukum harus menjamin keadilan, kata Kant, Stammler, Radbruch. Mereka percaya bahwa menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya, yang berarti negara harus menjamin kedudukan hukum individu. Pun hal yang senada diungkapkan oleh Roscoe Pound dalam bukunya Justice Accord ing to Law dan The Tasks of Law memberikan tekanan pada arti pentingnya keadilan yang dapat dinikmati oleh masyarakat tanpa adanya perbedaan.

Kententuan batas usia menandai bahwa hukum diskriminatif mencoba membedakan orang tua dan muda. Orang tua dianggap layak memimpin institusi Negara, sementara orang muda dipandang tak becus dan tak memiliki pengalaman. Pengalaman diukur dengan batasan tua dan muda inilah yang harus menjadi alasan utama yang perlu digugat. Pengetahuan, kejernihan berpikir, kredibilitas, dan ketrampilan (skill) sebenarnya lebih penting ketimbang mengutamakan pengalaman yang pada akhirnya hanya menciptakan kemapanan dan stagnanisasi lembaga.

Pembedaan nampak harus dihilangkan pada syarat menuju keseimbangan dan kesamaan. Orang tua maupun muda sama-sama memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Bukan yang muda hanya memiliki hak memilih dan tidak punya hak untuk dipilih.

Uji Materiil

Kondisi timpang ini masih bisa diselamatkan dengan berbagai upaya. Salah satunya upaya hukum melalui mekanisme judicial review on the constitutionality of law ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution dan sekaligus sebagai the interpreter of constitution bisa menghapus atau memutuskan kententuan yang dinilai timpang untuk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Materi dalam UU No 22 Tahun 2007 terutama pasal 11 huruf b yang mengatur syarat anggota KPU dan Pasal 86 huruf b telah menyalahi aturan kententuan dalam pasal 27 UUD 1945.

Dengan mengajukan uji materiil, masyarakat dapat mengupayakan sarana check and balances terhadap produk yang dihasilkan oleh parlemen dan pemerintah. Mahkamah Konstitusi juga bisa digunakan sebagai saluran yang menjanjikan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat terhadap suatu produk perundang-undangan. Dengan demikian, DPR dan pemerintah bisa beajar agar lebih hati-hati dalam membentuk suatu undang-undang untuk menjaga konstitusionalitasnya, dan juga agar lebih membuka ruang partisipasi politik rakyat dalam membentuk undang-undang. DPR dan pemerintah juga akan lebih arif dan bijak dalam menerbitkan peraturan yang lebih bisa melahirkan keadilan subtantif dan mengkonstruksi tata kehidupan demokasi yang hakiki.


Awaludin Marwan, SH