Konsepsi pendidikan kaum tertindas pernah mengemparkan Amerika saat dikumandangkan oleh Paulo Freire pada abad ke -19 mangandung sejumlah orientasi filosofis pendidikan ke suatu yang lebih memanusiakan, demokratis, pragmatis, dialogis, dan membebaskan. Konsepsi ini bisa di pakai untuk memotret dan memberikan solusi bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan politik khalayak pemilih.
Pendidikan politik sebagaimana yang dapat kita lihat dalam sosialisasi dan kampanye pilgub tidak secara holistik memperhatikan eksistensi kaum tertindas. Kaum tertindas yang memiliki keterbelakangan hanya bisa berpasrah diri dengan keadaan dimana keterbatasan kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan sosialisasi yang di lakukan oleh penyelenggara tidak menyentuh dan mendukung terbentuknya kecerdasan dan kesadaran politik mereka.
Sosialisasi dan kampanye hanya berniat untuk mengiring mereka mencoblos, bukan mencerdaskan dan membebaskan. Tak banyak diharapkan dari sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Dengan bermodalkan cara konvensional menawarkan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Agenda sosialisasi menjadi sebuah tahapan yang terkesan rutinitas semata. Apalagi pola komunikasi yang disediakan bagi kaum tertindas hanya dalam format penyuluhan dan menyalurkan informasi lewat media. Metode ini menutup dialog, memberanguskan kesadaran, layaknya sistem pendidikan politik otoriter –meminjam ungkapan Freire– seperti banking education tanpa kurikulum dan target yang jelas.
Sedangkan kampanye hanya akan membangun skeptisisme terhadap bangunan pendidikan politik yang ada. Pada kenyataannya, kampanye terbuka –sebagai alternatif bentuk kampanye yang banyak dipilih kandidat–mengutamakan penggiringan massa hanya berefek memangkas ruang dialog. Padahal dialog sendiri, bagi Freire merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Dengan dialog kritis, secara otomatis mendorong tranformasi sosial dan pembebasan serta mencerdaskan secara politis khalayak pemilih.
Bentuk sosialisasi dan kampanye yang popular saat ini mengharuskan prakondisi yang mana diperlukannya karakteristik pemilih rasional. Untuk menuju pemilih rasional paling tidak diperlukan energi yang cukup besar, baik taraf pendidikan formal maupun tingkat kesejahteraan yang mencukupi. Kaum tertindas jauh dari faktor tersebut, maka perlu pendidikan politik yang meletakkan dasar humanisasi kaum tertindas yang mensejajarkannya dalam bentuk kesadaran kritis.
Kaum tertindas bisa diartikan mereka pemilih yang termasuk golongan miskin. Sebanyak 21, 11 % penduduk Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS, 2007: hal 185). Daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Kabupaten Brebes, yakni 51, 60 % jumlah penduduk miskin sedangkan jumlah penduduk miskin terkecil di Kota Magelang dengan 17, 70 % penduduk miskin. Kaum inilah yang pertama kali perlu diketengahkan pembangunan kesadaran dan kecerdasan politiknya.
Dilema ketidak-sadaran dan ketidak-kecerdasan kaum tertindas memang persoalan fundamental. Maka cukup rasional, persoalan fundamental ini di sandingkan dengan fenomena golput di dalam setiap pemilihan. Golput, dimotori oleh, keterbatasan informasi, apatisme, dan apolitis. Kurangnya pendidikan politik pemilih serasa cukup signifikan melahirkan bertambahnya angka golput.
Prihatmoko (2008) pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004, angka golput (22,06 persen) dibawah partai pemenang pemilu/ PDI-P (23,09 persen). Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 persen) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 persen). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 persen) masih mengalahkan golput (28 persen). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 persen) dikalahkan golput (31,14 persen). Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 (42,31 persen) dari 26 pilkada kabupaten /kota. Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan dan Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian secara presentasi pilkada yang dimenangkan golput meningkat dari 41,18 daerah (2005), 42,86 persen(2006) menjadi 50 persen(2007). Dari sebelas pilkada itu, rata-rata golput sebesar 36,74 pesen jauh diatas suara bupati/walikota terpilih sebesar 26,10 pesen. Selisih perbandingan itu rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 persen dan bupati/walikota terpiliih 35,12 persen. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub.
Dengan potensi golput sebesar ini, maka perhatian serius perlu ditujukan untuk membangun kembali kesadaran dan kecerdasan politik warga, terutama kaum tertindas ini. Sekali lagi, dalam karya Freire, Pedagogy of The Oppresed, menekankan pentingnya pendidikan berkesadaran menuju ketiadaan penindasan, dalam konteks yang lebih operasional, bisa dilakukan oleh penyelenggara melalui sosialisasi. Sosialisasi diselenggarakan oleh penyelenggara harus memposisikan diri sebagai agen demitologisasi dalam menghadapi masalah dan menganggap dialog sebagai instrumen terpenting, memberikan motivasi pemilih menjadi pemikir kritis dan merangsang kreatifitas aksi dalam menghadapi persoalan politik.
Kalaupun perlu, sosialisasi, kedepan haruslah diatur sedemikian rupa menyerupai sarana pendidikan politik non formal yang mencerdaskan. Tidak hanya sekadar mengajak pemilih untuk mencoblos atau menggunakan hak pilihnya saja, akan tetapi mampu mengajak pemilih untuk berpikir, mampu membongkar profil, visi, misi, program, dan arah kebijakan kandidat, sehingga pada akhinya, pemilih tidak hanya pandai memilih dengan benar, tapi mampu mendampingi 5 (lima) tahun ke depan dengan kritisisme dari kontruksi kesadaran dan kecerdasan politik yang dimilikinya.
Awaludin Marwan, SH Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah