Jumat, 03 April 2009

Mendekontruksi Citra PNS


Hari-hari ini banyak orang disibukkan oleh tes penerimaan PNS. Mereka berkeinginan hidup di atas biaya Negara. Kalau semua orang ingin hidup di atas tanggungan biaya Negara, siapa yang akan membiayai Negara ? Pergeseran orientasi dalam pelamaran kerja PNS sangat besar, dulu menjadi aparat adalah murni pengabdian, kini dorongan kebutuhan ekonomi menggantikannya. Banyak orang menginginkan kemapanan. Bahkan, selera massa menyebutkan bahwa manusia menjadi ”orang” ketika dia telah dinobatkan sebagai PNS.
Selera massa inilah yang membahayakan posisi negara yang pada saat bersamaan menguntungkan pemangku kepetingan status quo. Bahaya yang akan di hadapi oleh Negara lebih berupa kesenjangan ekonomi. Anggaran pendapatan negara sebagian besar berasal dari sektor pajak. Dari pajak ini kemudian dipakai untuk menggaji aparat dan pembangunan fisik. Kalau semua ingin mendapat gaji dari pajak, lalu siapa yang akan membayar pajak?.
Pajak berupa PPH ataupun PPN yang diperuntukkan bagi PNS tentunya tidak cukup mengembalikan biaya masuk ke anggaran pendapatan Negara. Pengangguran lebih di identikkan seseorang menunggu peluang masuk PNS tanpa harus berbuat apa-apa. Pengangguran semacam ini tak menguntungkan sama sekali bagi Negara. Pajak yang kebanyakan diperoleh dari sektor swasta (private sector) tidak banyak di minati oleh para penganggur.
Matinya kreatifitas manusia Indonesia karena tak punya nyali di bidang swasta yang penuh resiko dan tantangan, dipengaruhi oleh keberadaan sistem gaji pegawai. Dengan menjadi pegawai orang yang pintar sekalipun tak harus memeras otak dan keringatnya untuk menangani sebuah persoalan di pemerintahan, toh masih mendapatkan gaji.
Struktur yang gemuk dan miskin fungsi membuat biasnya tanggung jawab aparat akan tugas-tugas pemerintahan. Seolah-olah dengan nyantai –bermain video game, ngobrol, atau membaca koran seperti yang terjadi di kantor pemerintahan– persoalan akan selesai. Sebab persoalan terlalu banyak yang menanggung. Bukan kualitas yang diutamakan melainkan kuantitas.
Berikutnya, penerimaan PNS pada akhirnya akan memperbesar keuntungan yang diperoleh para pemangku kepetingan status quo. Jika banyak orang terlebur dalam suprastruktur pemerintahan, maka fungsi pengawasan masyarakat akan meredup. Check and balances menjadi tak seimbang, hilanganya social control dari masyarakat akan membuat pemerintah berbuat sewenang-wenang. Menjadi Diri Sendiri Banyak orang menginginkan posisi PNS sebagian besar merupakan postulat (tuntutan) selera massa. Pandangan objektif yang memiliki kemungkinan ”keliru” dan ”salah”. Konstruksi pandangan objektif ini tentunya tidak lahir begitu saja, melainkan tetap dimainkan dan dihegemoni oleh unsur penguasa status quo yang membuatnya.
Di era modern seperti sekarang ini, orang sulit menentukan pilihan arah hidupnya sendiri di tengah-tengah pandangan umum. Orang tak memiliki kebebasan oleh jerat-jerat selera massa yang men-dehumanisasikan manusia. Manusia dilahirkan dalam kondisi yang bebas, namun karena selera massa-lah manusia dituntut untuk mengikutinya, memperoleh label ”kewajaran” dan mendapat citra ”baik”.
Pemikiran Jean-Paul Sartre dapat membantu kita menemukan diri kita sendiri, hidup bebas tanpa tekanan dan paksaan. Sarte dalam karangannya L’Etre et le Neant; essai d’Ontologie Phenomologique, maupun L’Existentialisme est un humanisme, berikutnya Critique de la raison dialectique. Meski karya-karyanya dibilang tidak konsisten dan tak memiliki benang merah antara satu dengan yang lain. Namun di sini kita tidak membahas itu terlalu dalam, kita mengambil manfaat darinya saja.
Dia mengkonstatasikan bahwa individualitas dan autensitas manusia masing-masing tidak boleh diseragamkan berdasarkan selera massa. Orang menentukan sendiri norma-norma dan nilai-nilai hidupnya, yang tidak sekedar mem-bebek pada apa yang di anggap biasa (Franz Magnis: 2000). Di bait yang lain Sarte dengan pengaruh Marx, menganggap manusia kemudian terdeterminasi lingkungan sosial sekitarnya. Tapi determinasi tidak menghilangkan proses yang pertama, penggembaraan nilai sendiri.
Sarte menekankan pentingnya manusia melakukan refleksi diri (berpikir secara mendalam). Menemukan keyakinan dan keteguhan hati sehingga orang tak mudah terbawa arus objekivisme. Yang sudah barang tentu objektivisme yang dimaksud tidak mungkin selamanya baik untuk diri sendiri, melainkan juga terdapat kekeliruan bahkan merugikan diri kita sendiri. Singkatnya, membangun seseorang yang berkarakter. Seseorang yang kuat, bahkan mampu memberikan manfaat akan keberadaannya terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Misalnya, pepatah Jawa yang mengatakan ”luwih apek dadi ndas semut tinimbang buntut gajah”, (lebih baik menjadi kepala semut dari pada ekor gajah). Salah satu alternatif bahan untuk refleksi diri, bagaimana menjadi enterpreneur kecil yang menghasilkan serta banyak bermanfaat bagi orang lain, ketimbang mengikuti jejak orang yang sudah besar, apalagi pemerintah.
Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa PNS bukanlah satu-satunya pekerjaan yang baik. Hanya saja keberadaannya yang dipenuhi dengan citra selera massa. Bahkan kemanfaatan keberadaannya lebih rendah ketimbang pengusaha-pengusaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian Negara. Jadi, bekerjalah sesuai dengan diri sendiri.

Awaludin Marwan, SH Mahasiswa Program Pasca-Sarjana Hukum UNDIP. Direktur LSM DEWA ORGA

Tidak ada komentar: