Jumat, 03 April 2009

Krisis Pidana Pemilu


Kriminalitas Pelanggaran Pemilu


Demokrasi kali ini menampakan pertunjukan yang menyeramkan. Pasalnya, hampir setiap aktivitas politik bisa diklasifikasikan dalam ”kejahatan”.


Peningkatan daftar jumlah kejahatan pemilu terbentur dua persoalan. Pertama, adanya regulasi tersebut menjadi faktor kriminogen, membuat data kejahatan semakin bertambah. Kedua, sulitnya menerapkan dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), mengingat kesiapan aparat penegak hukum yang ada.

Bertambahnya daftar kejahatan pelanggaran pemilu menjadi 55 item kejahatan pasal 260-331 dalam UU no. 10 Tahun 2008, bisa diselidiki sebagai upaya yang gegabah. Sebagaimana konsepsi teoritis hukum pidana klasik, dikenal tiada pidana tanpa korban (victim). Tetapi kali ini, kejahatan direduksi berupa pasal-pasal pelanggaran yang menjerat seseorang menjadi jahat.

Banyaknya perilaku biasa menjadi jahat merupakan karakteristik khas regulasi pemilu kali ini. Memberi keterangan keliru menjadi jahat, PPS tidak memperbaiki data menjadi jahat, KPU tidak melanjutkan laporan bawaslu menjadi jahat dan seterusnya. Semuanya ini menciptakan faktor kriminogen.

Faktor kriminogen bisa dipahami sebagai hasil bertambahnya jumlah kejahatan, bukan berasal dari unsur perilaku (behavioral of people), melainkan bersumber pada kesalahan merumuskan regulasi. Mengkriminalisasikan berbuatan yang semula bukan merupakan kejahatan dengan gegabah bisa menambah kekacauan dalam lapangan hukum pidana baik secara teoritis maupun praktis.

Jika ditelusuri, asumsi penambahan delik pelanggaran pemilu disinyalir berasal dari: upaya pencegahan pelanggaran pemilu. Tetapi justru pelanggaran pemilu tetap saja berkelanjutan, tetapi regulasi yang keliru itu tetap menjadi momok yang misterius dan kejam. Yang diserang tidak hanya caleg saja sebagai potensi pelaku tindak pidana, melainkan KPU, media, lembaga riset, dan masyarakat.

Ada satu hal lain yang dapat kita cermati dalam perumusan regulasi ini. Yakni ketika kita mengingat teori Roberto M Unger yang termasyur Critical Legal Studies. Bahwa produk hokum sebenarnya hanyalah cermin bagaimana kepentingan penguasa disalurkan di balik legalitas yang ada.….that existing social and legal arrangements ought to be transformed so as to create a society that will be free from the "hegemony" and "hierarchies" that prevail at present.

Unger percaya bahwa hukum terjadi dan dilaksanakan berdasarkan hasil kompromi penguasa, ajang despotisme negara yang menindas rakyatnya. Sarana partai besar di senayan guna menindas partai kecil. Instrumen guna membungkam suara lembaga riset dan media. Dan wadah bagi penekanan partisipasi masyarakat agar tidak terlibat jauh di dalam politik.

Hukum tidak netral dan tidak bebas nilai. Ia selalu berpihak pada penguasa dan memiliki nilai-nilai yang dibentuk oleh penguasa itu sendiri. Sehingga di dalam hukum itu hanya melindungi kepentingan status quo penguasa yang bersangkutan, bukan untuk kemaslahatan masyarakat.

Sudah memngetahui bahwa regulasi kejahatan pelanggaran pemilu telah cacat secara materi dan tujuan. Kita akan menemukan bahwa regulasi ini juga cacat secara sistemik. Sebab sulitnya penerapan materi sebagaimana yang dikehendaki oleh isi dan mekanisme dalam UU tersebut. Ada dua hal yang menjadi barometer cacat sistemik regulasi ini: acara cepat dan lemahnya dukungan partisipasi masyarakat.

Persoalan awal, di acara cepat, aparat penegak hukum tak mampu menanggani secara maksimal. 3 (tiga) hari saat kejadian perkara, harus masuk di panwas, 3 (tiga) hari di kepolisian, dan 6 (enam) hari di pengadilan. Terbukti seluruh Indonesia, hanya satu perkara pidana yang berhasil diputuskan, yakni di Blora Jawa Tengah, kejahatan pelanggaran kampanye di luar jadwal.

Sedangkan lemahnya dukungan partisipasi masyarakat, terbukti sangat lemah. Laporan yang masuk di panwas sebagian besar berasal dari temuan personil institusi itu di lapangan. Masyarakat kurang mengapresiasi adanya regulasi kejahatan pelanggaran pemilu dengan perilaku aktif. Apalagi berkenaan dengan money politik. Sesuatu hal yang banyak diminati masyarakat dan tradisi dalam pemilihan desa. Sehingga untuk meyingkap politik uang yang objeknya adalah masyarakat itu sendiri sangatlah sulit.

Terkonstruksinya regulasi kejahatan pelanggaran pemilu ini yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat juga sebuah materi yang salah fatal. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sam S Sauryal dalam bukunya yang termasyur Ethics in Criminal Justice in Search Of The Truth. Bahwa regulasi hokum pidana hendaknya consistent with the agency’s organizational subculture or the product of customary practices. Kebijakan pidana sudah seharusnya sesuai dengan kebudayaan dan kebutuhan masyarakat.

Jika merumuskan regulasi pidana tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masyarakat, maka jangan mengharapkan masyarakat berpartisipasi di dalamnya. Regulasi yang tidak sesuai dengan standar nilai yang ada di masyarakat hanya membuat masyarakat apatis. Regulasi hanyalah menjadi ajang peningkatan karier aparat lembaga supratruktur dan arena perebutan kekuasaan politisi.

Regulasi hukum pidana yang cacat secara teoritis maupun praktis ini, menjadi kententuan yang sia-sia. Keberadaannya tidak menjadi bermanfaat melainkan malah jadi masalah dan penghambat. Kebijakan penyusunan hukum pidana hendaknya dirumuskan secara serius masalah subtansional, kemampuan aparat penegak hukum, dan kebudayaan masyarakatnya.



Awaludin Marwan, SH

Mahasiswa PascaSarjana Hukum UNDIP, Peneliti di LSM Dewa-Orga

Tidak ada komentar: