Jumat, 03 April 2009

Fenomena Bunuh Diri



Maraknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Bunuh diri sudah seharusnya tidak dipandang lagi sebagai satu persoalan yang parsial, melainkan memiliki berbagai variabel kausalitas. Bunuh diri bukanlah masalah pribadi individu secara psikogis semata. Tetapi banyak faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya sebagai faktor sistemik.
Kasus bunuh diri bisa kita lihat pada Setember 2008, sebuah keluarga Yanuar Stevanus dengan melibatkan istri dan dua anaknya. Modus yang dipakai dengan membakar diri beserta seluruh isi rumah. Kasus lain kita dapat melihat sebelumnya terjadi di Jawa Timur. Bunuh diri dilakukan oleh Junaniah Merci ditemukan tewas bersama 4 anaknya di kamar.
Di daerah lain, seperti halnya Bali, ditemukan data yang tercatat selama satu tahun terdapat 115 kasus bunuh diri pada tahun 2005. Sebelum tahun tersebut kasus bunuh diri memiliki kuantitas yang lebih tinggi, yakni 121 kasus. Data yang diidentifikasi oleh Polda Bali diketahui kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh kalangan menengah kebawah.
Tingginya jumlah kasus bunuh diri ini harus di selidiki, guna mengkontruksikan resolusi efektif penanggulangannya. Kasus bunuh diri yang merupakan cermin penurunan moral dan ketidak-berdayaan manusia baik secara individu atau masyarakat dalam menghadapi hidup. Ia harus ditempatkan sebagai faktor psiko-patologi-sosial, penyakit masyarakat. Sehingga memunculkan tanggung jawab sosial.
Emile Durkheim sosiolog Prancis, dengan tegas menunjuk tanggung jawab sosial sebagai sumber persoalan tinggi-rendahnya kasus bunuh diri. Studinya terhadap dua segmen religius menunjukan bahwa satu kelompok memiliki potensi bunuh diri lebih banyak. Diketahui bahwa integrasi sosial masyarakat tersebut melemah, memunculkan individualisme dan menciptakan dorongan bunuh diri.
Bunuh diri bagi Durkheim lebih dipahami sebagai persoalan yang datang dari masyarakat. Bunuh diri problem individual yang bersifat saling berkait (dependent variable) dan faktor yang paling berpengaruh adalah persoalan sosial. Lemahnya pengawasan, kekeluargaan, dan saling menjaga antar-individu dalam masyarakat merupakan faktor utama.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa kurangnya kewaspadaan, perhatian, dan respon masyarakat terhadap bahaya bunuh diri yang menyebabkan terjadi banyak kasus bunuh diri bermunculan. Ternyata disejumlah tempat, kasus bunuh diri bisa dicegah oleh masyarakat. Di medan beberapa waktu lalu masyarakat menyelamatkan seorang wanita terjun dari gedung bertingkat.
Percobaan bunuh diri yang gagal di Medan bisa dijadikan contoh betapa peran masyarakat sangat dibutuhkan sebagai upaya preventif. Tetapi seharusnya lebih jauh dari itu, hubungan dan komunikasi yang harmonis diantar-individu dalam masyarakat lebih mampu mencegah tak hanya percobaan bunuh diri, melainkan hingga sampai pada ”niat”. Jadi hubungan dan harmonis diantar-individu dalam masyarakat bisa meredam niat orang bunuh diri. Kesaling pengertian, saling menghormati dan tolong menolong, upaya yang paling efektif pencegahan kasus bunuh diri dalam masyarakat.
Transisi masyarakat tradisional yang memiliki solidaritas mekanik ke masyarakat modern yang dipenuhi solidaritas organik, ternyata juga banyak yang dipertaruhkan. Di balik modernitas yang mengoperasikan pembaharuan hukum dan pengorganisasian masyarakat, ada sisi lain yang justru mmperburuk kondisi masyarakat.
Bunuh diri merupakan dampak dari modernitas yang menggiring masyarakat ke jurang individualisme dan melemahkan integrasi sosial. Individualisme dan melemahkan integrasi sosial, biang keladi faktor psiko-patologi-sosial. Faktor sosial yang terpuruk inilah oleh Durkheim yang membentuk kategorisasi bunuh diri: egoistik, altrustik, dan anomik.
Bunuh diri egoistik, dorongan yang dipengaruhi rasa yang tak membutuhkan orang lain dalam hidup. Sudah tidak lagi merasakan arti pentingnya keberadaan orang lain disekitar pelaku. Committed by people who are not strongly supported by membership in a cohesive social group (Durkheim, 1987). Hilangnya kepekaan terhadap komunitas, tidak lagi merasakan kemanfaatannya sebagai anggota masyarakat.
Sementara, bunuh diri altrustik, bunuh diri yang sebaliknya malah lebih memprioritaskan kelompoknya ketimbang pribadinya. Keinginan untuk menghadapi kematian demi membela agama, ras, etnis, dan kelompoknya yang berlebihan merupakan contoh nyata tipikal bunuh diri ini. Committed by people who are deeply committed to group norms and goals and who see their own lives as unimportant (Durkheim, 1987). Kehidupan baginya sudah tidak lagi penting. Baginya yang terpenting adalah identitas dan kepentingan kelompoknya.
Yang terakhir, adalah bunuh diri anomik, ketidak berdayaan pribadi dalam menghadapi arus perubahan lingkungan atau committed by people when society is in crisis or rapid change (Durkheim, 1987). Orang tidak bisa menggapai tujuan-tujuannya di tengah perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Tiga tipikal bunuh diri yang kita lihat dari konsepsi Durkheim dapat dijadikan kacamata analitis bagi kasus bunuh diri acapkali bermunculan. Tipikal ketiga, yakni bunuh diri anomik, yang kebanyakan terjadi di dalam masyarakat kita. Orang yang tak mampu memenuhi tuntutan perubahan dalam masyarakat inilah yang banyak dijadi penyebab kenapa orang banyak melakukan penyelesaian masalah dengan bunuh diri.
Tuntutan ekonomi, taraf pendidikan yang rendah, hingga melemahnya moralitas seseorang ditengah perubahan yang memunculkan penyebab orang banyak memilih jalan pintas, bunuh diri. Hanya dengan penguatan kembali integrasi sosial masyarakatlah, potensi bunuh diri bisa ditekan. Butuh penyadaran masyarakat secara kolektif untuk meningkatkan solidaritasnya dan memunculkan perhatiannya terhadap sesama.


Awaludin Marwan, SH
Mahasiswa PascaSarjana Fakultas Hukum UNDIP, Peneliti di LSM Dewa-Orga

Tidak ada komentar: