Jumat, 03 April 2009

Golput Masuk Neraka ?



Fatwa MUI menegaskan golput haram terlalu berlebih-lebihan. Sikap yang wajar dalam demokrasi di dekonstruksi menjadi perbuatan yang berhubungan dengan dosa.

Negara sudah kehabisan akal untuk memaksa warganya memberikan legitimasi politik pada kekuasaan yang di milikinya. Warga yang sudah muak dan apatis terhadap politik hendak mencari jalan keluar dengan caranya sendiri. Alienasi (pengasingan diri) warga terhadap kehidupan politik mestinya disikapi secara reflektif, bukan paksaan seperti sekarang ini.
Rakyat yang sudah jenuh dengan kehidupan politik, obral janji dan pesta fitnah di kalangan politisi, semakin bertambah tekanan. Secara psikis, rakyat yang sudah menemukan ruang alienasinya, kembali dipaksa untuk menjalani rutinitas yang diengganinya demi ketaatannya pada ulama. Sebab keterkaitan sikap politik pada hubungan surga dan neraka, jika golput haram, dan warga melakukannya maka dia berdosa dan neraka adalah tempat baginya.
Padahal golput adalah sebuah sikap yang bukan tanpa alasan. Keadaan politik yang carut-marut, korupsi merajalela, skandal politisi semakin varian dan masih banyak lagi, merupakan serangkaian alasan yang membangun persepsi rakyat. Persepsi rakyat yang tidak lagi percaya pada wakilnya di Parlemen, kepala daerah, maupun kepresidenan.
Pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004, angka golput (22,06 persen) dibawah partai pemenang pemilu/ PDI-P (23,09 persen). Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 persen) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 persen). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 persen) masih mengalahkan golput (28 persen). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 persen) dikalahkan golput (31,14 persen).
Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 (42,31 persen) dari 26 pilkada kabupaten /kota. Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan dan Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian secara presentasi pilkada yang dimenangkan golput meningkat dari 41,18 daerah (2005), 42,86 persen(2006) menjadi 50 persen(2007). Dari sebelas pilkada itu, rata-rata golput sebesar 36,74 pesen jauh diatas suara bupati/walikota terpilih sebesar 26,10 pesen. Selisih perbandingan itu rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 persen dan bupati/walikota terpiliih 35,12 persen. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub.
Ruang Golput merupakan sarana yang khas mencerminkan apatisme dan kekecewaan warga terhadap pemegang kekuasaan. Jika tanpa mendalami persepsi pemilih, Golput diharamkan, maka sama halnya fatwa MUI lebih memihak pada sikap politik politisi kita dan carut-marutnya kondisi perpolitikan ketimbang kegelisahan kognitif –harapan, keinginan, kebutuhan politik– warga.
Menyandingkan eksistensi fatwa ini dengan kekerasan simbolik (symbolic violence) ungkap Pierre Bourdieu (1990) adalah suatu hal yang serasi. Kekerasan yang tanpa dilihat dan nampak samar-samar, melakukan pemaksaan dan tindakan keras pada umat manusia melalui bahasa dan medium komunikasi, merupakan aktivitas yang kejam.
Golput sebagai tolok ukur tingkat kepuasan masyarakat pada rakyatnya, bukannya demokrasi sejak dari dulu terkenal dengan slogan, dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Maka sudah selayaknyalah rakyat yang memberikan penilaian secara objektif, bukan melalui paksaan. Hasil penilaian objektif inilah yang dipergunakan sebagai standar peningkatan kinerja pemerintahan yang akan datang.
Harga BBM naik berkali-kali lipat dan hanya turun jelang kampanye berlangsung, itu pun hanya sedikit penurunannya. Korupsi semakin marak dengan modus operandi yang semakin canggih. Skandal seks politisi semakin bervariasi sebagai cermin kehidupan glomaur dan amoralis politisi yang buruk. Masak dengan demikian, penguasa menginginkan angka Golput menurun.
Golput adalah cambuk yang menghajar secara halus, pengingat yang lembut bahwa pemerintah atau penguasa haruslah selalu ingat pada rakyat yang di pimpinnya. Kebahagiaan rakyatnya menjadi prioritas, sehingga kebijakannya pun hendaknya juga berpihak pada rakyat. Bukan malah barometer moral-politik berupa Golput ini dilenyapkan dengan pemaksaan nilai yang irasional.
Menciptakan pemimpin itu hukumnya wajib, bukan berarti dari sekian golput tidak ada yang mencoblos. Pastilah ada satu, dua atau tiga pemilih yang mencoblos. Dan pemimpin pun sudah bisa terpilih dari sedikit pemilih tersebut. Bukannya pemimpin itu juga tidak hanya bersifat struktural, melainkan fungsional dan spritual sebagaimana kepemimpinan ulama dan para kyai sepuh. Mereka justru lebih legitimate ketimbang anggota dewan dan presiden sekalipun.
Itu artinya, bahwa kepemimpinan merupakan sebuah hal yang otomatis tercipta dari interaksi antarmanusia sebagai mahluk sosial. Mereka yang lebih unggul, memiliki kapasitas manajemen dan intelektual akan hadir sebagai seseorang membawa sinergisitas dan kemajuan komunitasnya.
Sekali lagi negara tercipta atas dasar kesepakatan, bahkan kita mendeklarasikan diri kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. The Social Contract, Jean Jacques Rousseau (1762) menegaskan bahwa as the citizens, by the social contract, are all equal, all can prescribe what all should do, for giving the body politic life and movement, that the Sovereign, in instituting the government, confers upon the prince.
Prinsip dasar kekuasaan adalah kesepakatan yang tercipta berlandaskan persamaan, kebebasan dan kedaulatan rakyat. Jadi di dalam demokrasi yang benar, sistem pemaksaan sebuah hal yang keliru fatal, segala macam pemaksaan haruslah disingkirkan demi terwujudnya masyarakat politik demokratis.

Awaludin Marwan, Peneliti Sosial, Mahasiswa Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP

Tidak ada komentar: