Jumat, 03 April 2009

Kampanye Model BaruJanji


Janji-janji kosong calon anggota dewan harus di singkirkan. Saatnya bagi masyarakat yang menentukan nasibnya sendiri. Masa pemilu semakin dekat, giliran masyarakat yang harus mengadili dan menentukan politiknya. Model kampanye konvensional harus ditinggalkan, pelaksanaan kampanye tidak berada di tangan calon, melainkan sepenuhnya dikendalikan oleh masyarakat. Bukan calon yang menawarkan visi-misi-program kerja kepada masyarakat, melainkan masyarakat yang memberikan penawaran kepada siapapun calon yang mampu mengikuti kehendaknya. Banyak cara yang dapat ditempuh oleh masyarakat, mulai dari aksi loby, perumusan isu, menggunaan medium kampanye, sampai ke tindakan ”boikot” pada pelaksanaan pemilu. Semuanya bisa dilakukan untuk menghasilkan daya tawar dan membentuk pemilih yang kritis dan aktif dalam politik. Sejalan dengan kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat yang tiap lokalitas berbeda, di butuhkan talenta masyarakat untuk menawarkan, targeting dan positioning. Tiga aktivitas ini memungkinkan menjaring, menetapkan titik bidik, kepada siapa masyarakat merangkul calon yang sesuai dengan visi-misi-program pembangunan masyarakat yang bersangkutan. Dengan menetapkan kampanye model baru ini, dimungkinkan tidak ada lagi janji-janji palsu calon, omong kosong dan penipuan massal oleh calon. Masyarakat yang menentukan, memberikan legitimasi, bahkan sampai penciptaan kontrak sosial-politik yang di syahkan pejabat notaris setempat sebagai perjanjian perdata yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga tak seorang calon pun yang mengingkari kontrak yang telah disepakatinya saat kampanye. Kampanye model baru memberikan kesadaran masyarakat akan adanya daya kekuatannya sendiri. Masyarakat harus memiliki tipe organisasi post-birokratis yang modern dan kokoh, menyusun tim loby, tim manajemen pemasaran, dan tim advokasi dalam rangka menyusun strategi kampanye untuk menggait calon. Tidak ada kata ”susah” dalam mengimplementasikan konsep kampanye model baru ini. Tinggal kekritisan, kemampuan, dan keinginan masyarakat untuk memulai aktivitas penawaran dan pemasarannya sendiri. Masyarakat mengkonsep kebutuhan, keinginan dan harapannya sendiri dalam suatu abstraksi, dan kemudian mengolah abstraksi untuk menjadi sebuah proposal penawaran kepada calon-calon yang berkepentingan dan berminat dengannya. Kampanye melalui surat edaran yang di dalamnya termuat materi-materi konsep abstraksi yang telah disusun oleh masyarakat. Kemudian medium tersebut digunakan sebagai bahan promosi, citra, dan produk politik yang di jual ke calon-calon yang sebelumnya telah dijadikan sasaran terpaan. Aktivitas loby dan komunikasi menduduki peranan yang sangat vital. Segmentasi kelompok dalam masyarakat tentunya disamping harus memiliki kemampuan loby yang kuat, juga harus memiliki struktur fungsional yang efektif. Sehingga aksi demonstrasi bahkan sampai boikot sebagai alternatif rencana cadangan, misalnya saja target calon meleset. Demonstrasi mencerminkan kekuatan dan solidaritas massa yang memperlihatkan jumlah dukungan kuantitatif masyarakat. Sehingga dengan demonstrasi tersebut, konsep abtraksi –yang bisa saja berupa rumusan isu– dengan mudah muncul ke permukaan dan menjadi wacana sentral. Sampai pada aksi pemboikotan, simpati dan perhatian publik akan tertuju padanya. Dalam kondisi demikian, tidak ada yang bisa menghentikan bagi calon-calon yang memasang harga karena terpikat oleh daya tawar masyarakat yang bersangkutan. Walaupun, konsep kampanye baru ini terkesan anarkis dan tidak etis, tetapi tidak ada alternatif lain yang bisa menggantikan, bagaimana cara kekuatan masyarakat sendiri bisa direalisasikan. Kita tentunya tidak ingin masyarakat selalu di jadikan bulan-bulanan oleh calon-calon elit politik. Mungkin ada pertanyaan kritis perihal menyoal konsep kampanye baru ini, tentang apakah konsep kamapanye baru ini menyalahi aturan, terutama merusak nilai-nilai demokrasi. Dengan tegas, jawabannya adalah ”tidak”. Justru model kampanye baru ini sejalan dengan ide-ide demokrasi. Demokrasi yang mengarahkan postulat-postulat ”partisipasi politik” warga di dalam kehidupan politik. Democracy and Educational Administration sebuah buku yang dikarang oleh John Dewey (1937) menegaskan bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi politik dan perebutan kekuasaan yang damai. Democracy is more than a special political form; it allows the necessary participation of every mature human being in the formation of the values that regulate a peaceful society. Dengan landasan ilmiah, bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi politik, maka dengan ini merekontruksikan partispasi politik aktif warga masyarakat harus diketengahkan. Dengan konsep kampanye model baru, di mana sistem kampanye dikendalikan oleh masyarakat, maka demokrasi Indonesia bisa mencapai pada ukuran demokrasi subtansial. Masyarakat yang cerdas, sadar, dan aktif dalam berpolitik memungkinkan terwujudnya keadilan sosial yang seriring dengan pembangunan demokrasi itu sendiri. Awaludin Marwan, SH Peneliti Sosial, Mahasiswa Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP

Tidak ada komentar: