Jumat, 03 April 2009

Artis Terjebak Kejahatan


Artis Terjebak Kejahatan


Kasus artis Marcella dan Ananda Nicola mengingatkan kita pada tidak hanya kemiskinan dan keterbelakangan sebagai faktor seseorang tertimpa perkara kejahatan. Memang kemiskinan dan keterbelakangan potensi menyulut seseorang berbuat jahat, tapi orang kalangan menengah keatas pun tak luput dari watak jahat akibat ketidak-matangan mental dan ketidak-seimbangan jiwa.


Teori kriminologi klasik menyebut bahwa kemiskinan dan keterbelakangan merupakan faktor dominan dalam memproduksi perilaku jahat. Demikian, orang miskin selalu dekat dengan perbuatan jahat. Namun, teori tersebut kandas di tengah jalan lantaran, kini, perbuatan jahat tak memandang garis batas usia, kekayaan, gender dan lain sebagainya. Manusia terlahir dengan kejahatannya sendiri.

Meski dalam konteks praduga tak bersalah, Marcella dan Ananda Nicolla, jika terbukti, sebagai tanda mewakili masyarakat papan atas yang tak bisa menghindar dari watak dan kepribadian jahat. Watak jahat tak bisa ditanggalkan dari personalitas pribadi manusia yang bersangkutan.

Dari sudut psikologis, perbuatan jahat, mungkin tidaklah hasil niat atau tujuan secara sadar ditentukan, melainkan manifestasi yang terlihat dari permukaan dari pada gangguan psikis yang berat. Suatu indikator untuk menjaga keseimbangan konflik-konflik batin tidak bekerja, sehingga gangguan kepribadian tersebut diluapkan dalam realitas oleh temperamen dan disharmonisnya struktur kepribadian.

Bukannya Sigmund Freud pemopuler psikoanalisis dalam The Psychopatology of Everyday Life (1904) menyatakan bahwa setiap manusia ”sakit mental” dengan takaran tertentu. Hingga suatu saat, kondisi tegang dan stress menyingkap suatu takaran yang lebih tinggi ketimbang kondisi biasa.

Sakit mental, ketidak-seimbangan jiwa, ketidak-matangan mental, disharmonisnya struktur kepribadian dan seterusnya itu merupakan beberapa faktor yang memicu orang berbuat jahat. Sehingga dengan demikian, perbuatan jahat tersebut tidaklah melekat pada profesi, kelas sosial, dan status seseorang, melainkan melekat pada diri individu yang bersangkutan. Setiap manusia memiliki potensi jahatnya masing-masing, tinggal bagaimana dia mengendalikan dirinya.

Virus Keartisan

Keistimewaan kasus artis bukan hanya sekadar mendapatkan prioritas oleh struktur penegak hukum, proses hukum bisa dipercepat dan dipermudah, bukan juga diperkuat pengacara kondang yang pengen ikut nampang, melainkan juga mendapat perhatian masyarakat secara luas. Sehingga perlu bagi si-artis harusnya belajar untuk menjadi public figure yang baik, tokoh panutan bukan sekedar gaya dan fashion-nya, tetapi perbuatan baiknya.

Dilema menjadi artis haruslah mempersiapkan diri baginya untuk selalu berbuat baik. Sebagai tokoh yang banyak di lihat, pengendalian diri adalah suatu kata kunci yang menjadi satu antara tanggung jawab sosial dan pertahanan karier. Sebab selain kariernya bisa meningkat dan bertahan, dikarenakan banyak pemirsa, rekan, dan produsernya yang menyukainya, merasa dia seseorang yang baik dan dapat dipercaya, dia juga memeri stimulalasi sosial yang baik bagi masyarakat.

Pengaruh artis pada masyarakat yang cukup signifikan memberikan stimulan sosial yang juga membentuk kepribadian kolektif masyarakat. B. F. Skinner (1938) menyebutnya ini dengan teori belajar, dengan menggunakan media, orang-orang melakukan imititasi, menjadikan sebuah aktivitas, mendapat penguatan dan diperkuat dari orang yang di idolakannya. Orang-orang yang di idolakannya bisa juga artis.

Artis sebagai sumber belajar masyarakat hendaknya memiliki tauladan yang baik. Dengan kata lain, kepribadian baik masyarakat bisa di maknai sebagai proses belajar dari pribadi artis yang baik pula. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, pengaruh besar artis, di dunia politik, hiburan, dan ekonomi hendaknya disumbangkan sebesar mungkin guna membentuk kepribadian masyarakat yang baik pula.

Pembangunan mental dan moral masyarakat yang baik salah satunya menjadi tugas yang dilekatkan pada artis kita. Sehingga sang-artis sadar jikalau hendak berbuat sesuatu, tindakannya tidak hanya berimplikasi pada dirinya semata, tetapi juga disaksikan oleh masyarakat yang lebih luas. Banyak di antara artis-artis kita memiliki catatan kriminal dan amoralis. Namun dari catatan tersebut seolah-olah rasa bersalah dan tanggung jawab sosial tak juga muncul.

Pengulangan aktivitas serupa acapkali kita saksikan, namun kita tetap mempertahankan sebuah konsep bahwa kejahatan yang dilakukan oleh artis lebih besar dampaknya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat biasa. Sehingga jika orang hendak menjadi artis atau sudah tenar keartisannya, berarti orang tersebut harus menyiapkan diri untuk menjadi orang baik.


Awaludin Marwan, SH

Mahasiswa Program Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP, Peneliti di Komunitas Embun Pagi


Tidak ada komentar: