Jumat, 03 April 2009

Kejahatan Fungsional


Di akhir tahun, biasanya terjadi refleksi hitungan kualitas dan kuantitas kejahatan. Kejahatan mutilasi, penggelapan, perampokan, pemerkosaan dan seterusnya menjadi catatan yang tiada pernah hilang setiap tahun.

Banyaknya kejahatan tidak bisa hanya dipandang semakin banyaknya orang jahat. Ataupun semakin profesionalnya aparat penegak hukum. Melainkan juga perlu dipandang sebagai penilaian berlebih sistem pemidanaan yang individualistik dan perkembangan kejahatan yang semakin kompleks.
Sistem pemidanaan menggunakan sistem individualistik mempengaruhi sikap ketidak pedulian sosial dan tanggung jawab sosial terhadap suatu tindak pidana. Umpanya orang melakukan tindak pidana, bersalah dan di hukum. Meskipun orang tersebut dikenai pidana, namun kejahatan orang tersebut banyak dipengaruhi oleh sistem.
Sistem memberikan kemudahan dan mendorong bagi seseorang melakukan kejahatan. Pengangguran, kemiskinan, dan penindasan sebuah ekses dari kesalahan sistem tidak dirasakan sebagai penyebab terjadinya kejahatan. Orang melakukan kejahatan hanya orang tersebut yang dikenai pidana, padahal bukan cuman orang itu yang bersalah, tapi juga sistemnya.
Hukum di Indonesia tidak mungkin mengadili kejahatan fungsional, Korea berani memidanakan orang tua yang diketahui anaknya melakukan tindak kejahatan. Kejahatan di lihat dalam konteks kolektivisme, bukan individual. Jika penanganan model seperti ini, Negara pun bisa dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dilakukan oleh rakyatnya.
Sistem pemidanaan yang individualistik ini biang dari lunturnya tanggung jawab dan kepedulian sosial. Seolah-olah dalam perkara pidana, urusannya hanya kepentingan korban dan pelaku, bukan urusan umum. Inilah dominasi berlebihan sistem individualisme. Bukannya Francis Fukuyama 1999 dalam The Great Disruption-nya menegaskan kekerasan terbesar di zaman kapitalisme baru adalah individualisme.
Individualisme menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi yang dulu lebih menyenangi kolektivitas, kekeluargaan, dan gotong royong. Dulu kepala adat mau di hukum lantaran warganya yang melakukan kesalahan, sebagai dampak dari kesalahan orang tersebut (pelaku pidana) menjadikannya kesalahan masyarakat adat yang bersangkutan. Di sistem modern, harusnya negaralah yang bertindak sebagai pemimpin adat.
Karena Negaralah yang harusnya memberikan kebaikan akan sistem, sehingga faktor ekonomi yang banyak dipakai sebagai motif kejahatan bisa diminimalisir. Di Negara maju, kejahatan berkurang kuantitasnya, Negara menjamin kesejahteraan ekonomi warga. Namun di Negara berkembang kesenjangan sosial nampaknya memberikan implikasi besar pada perkembangan kejahatan.
Dalam konggres PBB keempat, (Bardanawawi: 2008) diskursus tentang kejahatan yang menghinggapi negara berkembang dinyatakan sebagai berikut : pertama, crime as business, lahan bisnis baru bagi penjahat; seperti halnya cyber crime para maniak kejahatan ini mengekploitasi pembobolan kartu kredit untuk kepentingan ekonomi.
Kedua, tindak pidana yang berhubungan dengan hasil-hasil karya cipta, seni, dan warisan budaya. Ketiga, Narkoba. Keempat, kekerasan antar-personal (interpersonal violence), khususnya remaja. Kelima, kejahatan lalu lintas, imigrasi, terorisme. Dan ke enam, kejahatan yang dilakukan oleh wanita.
Perkembangan kejahatan di Negara berkembang begitu cepat, setajam perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan kebutuhan manusia. Sehingga perlu upaya progresif dalam rangka membendung semakin luasnya kejahatan yang berkembang di masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah revitalisasi kebijakan legislatif tentang penanggulangan kejahatan.
Lagi-lagi, kejahatan harus dihadapkan dengan fungsi-fungsi yang melekat pada institusi Negara. Kebijakan legislatif bak pedang bermata dua. Satu sisi mengarah pada kepastian yang terdistorsi, di sisi lain mengandung ketidak-pastian yang seharusnya hendak memperbaiki keadaan.
Keluarnya banyak produk hukum oleh legislatif yang pada umumnya memuat kententuan pidana khusus, membuat faktor kriminogen. Banyaknya aturan yang mengartur perbuatan pidana membuat semakin banyaknya tindak pidana. Hal ini dapat dibuktikan dengan kriminalisasi suatu perbuatan dalam regulasi baru, sehingga perbuatan yang dulu tidak dipidana sekarang harus dipidana.
Contoh perbuatan menyimpan bahan peledak, dulu tidak banyak mendapatkan perhatian. Kini perbuatan itu masuk dalam kategori tindak pidana terorisme. Ataupun pers dalam UU Pemilu tidak memberikan kesempatan peserta memasang iklan secara adil, maka akan di pidana, padahal sebelumnya tidak demikian.
Kembali ke kebijakan legislatif, kalau merumuskan regulasi dengan parsial, bukan tidak mungkin hanya menimbulkan semakin banyaknya tindak kejahatan, melainkan juga antara regulasi satu dengan yang lain bisa bertabrakan dan tumpang tindih. Maka perlu upaya mengandung ketidak-pastian yang seharusnya hendak memperbaiki keadaan.
Yakni, keseriusan menyelsesaikan konsep KUHP baru Indonesia. Koodifikasi hukum yang menentukan vonis kejahatan bersumber pada referensi hukum tinggalan kolonialis dan feodalis belanda. Weetboek van Recht (WvS) peninggalan Belanda sudah tak layak lagi berfungsi dalam sistem hukum Indonesia. Kemauan politik (political will) Negara dalam menyelesaikan konsep KUHP baru. Padahal konsep KUHP baru ada pengampunan hakim dan penghargaan media penal (penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan).
Kententuan dalam konsep KUHP baru yang dirumuskan oleh para arsitek hukum Indonesia sendiri harusnya di hargai dan terbukti mampu menjawab perkembanga kejahatan di Negara berkembang. Jadi lahirnya kejahatan bukan terletak pada medan yang terlampau sempit, melainkan luas menyangkut efektivitas fungsi intitusi-institusi Negara.

Awaludin Marwan
Mahasiswa Program Pasca-Sarjana Fakultas Hukum UNDIP. Peneliti di LSM DEWA-ORGA

Tidak ada komentar: